Tuesday, May 17, 2016

Evaluasi Kesesuaian Lahan

1. Definisi dan Dasar Klasifikasi

Lahan (land) adalah bagian dari bentang alam, yang mencakup pengertian lingkungan fisik, termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi dan keadaan vegetasi. FAO(1995) merumuskan delapan fungsi lahan yaitu:

  1. merupakan penopang beragam sistem kehidupan melalui produksi makanan, makanan hewan, serat, bahan bakar, kayu dan bahan kebutuhan hidup manusia yang lain, baik secara langsung maupun melalui peternakan, pertambakan dan perikanan;
  2. penopang keanekaragaman hayati terestrial, yaitu dengan menyediakan habitat (tempat hidup) dan menyimpan benih/gen tumbuhan, jasad renik dan binatang, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah;
  3. mengatur penyimpanan dan aliran sumberdaya air, tanah dan air permukaan, dan memengaruhi kualitasnya;
  4. bertindak sebagai suatu sumber dan tempat berkumpulnya gas rumah kaca dan sebagai penjaga keseimbangan energi global;
  5. merupakan gudang bagi bahan mentah dan bahan mineral;
  6. mempertahankan, menyangga dan mencegah resiko bencana alam;
  7. menyediakan ruang untuk tempat tinggal manusia, tanaman, industri dan aktivitas sosial seperti olahraga dan rekreasi, serta menghubungkan transportasi/pengangkutan orang, masukan dan hasil dan untuk bergeraknya hewan dan tumbuhan antar ekosistem; dan
  8. menyimpan dan melindungi bukti sejarah budaya umat manusia dan sumber informasi penggunaan lahan pada masa lampau dan kondisi-kondisi iklim masa lampau.

Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaan (performance) lahan jika digunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survai dan studi bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim, dan aspek lahan lainnya agar dapat mengidentifikasi dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976).

Menurut Sitorus (1985), fungsi evaluasi lahan adalah memberikan pengertian hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang diharapkan berhasil. Dengan demikian, manfaat yang mendasar dari evaluasi lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan. Hal ini penting apabila perubahan penggunaan lahan tersebut akan menyebabkan perubahan besar terhadap lingkungannya.

Evaluasi kesesuaian lahan adalah suatu upaya mencocokkan sebidang tanah bagi penggunaan tertentu atau merupakan proses penilaian dan pengelompokan satuan-satuan lahan berdasarkan kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu (Young, 1980), sedangkan van Goor (1981) dalam Sitorus (1985) mengemukakan, bahwa evaluasi kesesuaian lahan, khususnya untuk kehutanan adalah pendekatan sistematik pada proses mencocokkan (fitting) kegiatan kehutanan ke dalam perencanaan penggunaan lahan di suatu wilayah tertentu.

Penetapan kualitas lahan untuk tanaman HTI selayaknya dilakukan sebelum penanaman, karena sangat riskan untuk menanam tanaman HTI yang kualitas lahannya ditetapkan berdasarkan perkiraan sebab akan membuka peluang terjadinya kegagalan pertumbuhan yang berarti juga kerugian ekonomi bagi pengelolanya. Berdasarkan kenyataan ini, maka Poerwowidodo (1991) menyatakan bahwa proses penelitian kesesuaian lahan untuk tanaman pertanian perlu ditiru untuk penilaian kesesuaian lahan bagi tanaman kehutanan, karena keadaannya memang menuntut demikian.

Pembangunan hutan tanaman dengan konsep HTI adalah identik dengan suatu kegiatan bercocok tanam tanaman pertanian.

2. Struktur Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengaturan satuan-satuan lahan ke dalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat lahan atau kesesuaiannya untuk berbagai penggunaan. Klasifikasi kesesuaian lahan ada yang bersifat kualitatif dan ada pula yang bersifat kuantitatif. Klasifikasi yang bersifat kualitatif umumnya didasarkan atas sifat fisik lahan dengan hanya sedikit didukung oleh keterangan tentang faktor ekonomi, sedangkan klasifikasi kesesuaian lahan kuantitatif mencakup masukan yang banyak tentang ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada prinsipnya, evaluasi yang dilakukan sesuai dengan kondisi fisik lahan, kondisi sosial dan ekonomi daerah yang dipelajari. Faktor sosial ekonomi antara lain letak geografis dalam kaitannya dengan lokasi pemukiman, transportasi dan aktivitas manusia lainnya. Selain itu, faktor lingkungan perlu dipertimbangkan agar jangan sampai terjadi kerusakan lingkungan di kemudian hari meskipun dalam jangka pendek usaha tersebut sangat menguntungkan (Sitorus, 1985).

Menurut penelitian penulis blog ini (Asgar Taiyeb, 2007) yang dikutip dari Dent dan Young (1981), evaluasi lahan secara kualitatif adalah cara menilai lahan dalam mencapai pilihan penggunaan secara spesifik yang dijelaskan dengan cara kualitatif. Hasilnya hanya berupa kelas kesesuaian lahan secara fisik seperti kesesuaian tinggi, sedang dan tidak sesuai, sedangkan evaluasi lahan secara kuantitatif adalah penetapan kesesuaian lahan secara kuantitatif dari produksi atau keuntungan yang diharapkan dari penggunaan lahan tersebut seperti produksi tanaman, ternak, kayu dan rekreasi.

Struktur dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan yang dirumuskan oleh FAO (1976) terdiri atas 4 kategori yang merupakan tingkat generalisasi yang bersifat menurun yaitu:

  1. Ordo kesesuaian lahan: menunjukkan jenis kesesuaian atau keadaan secara umum.
  2. Kelas kesesuaian lahan: menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo.
  3. Sub kelas kesesuaian lahan: menunjukkan jenis tingkat pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan di dalam kelas.
  4. Satuan kesesuaian lahan: menunjukkan perbedaan kecil yang diperlukan dalam pengelolaan di dalam sub kelas.

Ordo kesesuaian lahan terdiri atas:

  1. Ordo S: Sesuai. Lahan yang termasuk dalam ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan bagi penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. Keuntungan yang diharapkan dari hasil pemanfaatan lahan ini akan melebihi masukan yang diberikan.
  2. Ordo N: Tidak sesuai. Lahan yang termasuk ordo ini mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah suatu penggunaan secara lestari.

Kelas kesesuaian lahan terdiri atas:

  1. Kelas S1: Sangat sesuai. Lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk penggunaan secara lestari atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksinya serta tidak akan menaikkan masukan dari yang biasa diberikan.
  2. Kelas S2: Cukup sesuai. Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas agak berat untuk suatu penggunaan lestari. Pembatas ini akan mengurangi produktivitas dan keuntungan dan meningkatkan masukan yang diberikan.
  3. Kelas S3: Agak sesuai. Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang sangat berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan perlu menaikkan masukan yang diperlukan.
  4. Kelas N1: Tidak sesuai pada saat ini. Lahan mempunyai pembatas yang cukup berat tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan biaya yang rasional.
  5. Kelas N2: Tidak sesuai permanen. Lahan mempunyai pembatas yang sangat berat sehingga tidak mungkin untuk digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari.

Kesesuaian lahan pada tingkat sub kelas mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam suatu kelas. Tiap kelas, kecuali kelas S1 dapat dibagi menjadi satu atau lebih sub kelas tergantung pada jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol-simbol huruf kecil yang diletakkan setelah simbol kelas. Sebagai contoh, kelas S2 yang mempunyai faktor pembatas kedalaman efektif (e) akan menurunkan sub kelas S2e. Biasanya hanya ada suatu simbol pembatas di dalam setiap sub kelas, akan tetapi bisa juga satu sub kelas mempunyai dua atau tiga simbol pembatas, dengan catatan simbol jenis pembatas yang paling dominan ditulis urutan pertama. Sebagai contoh dalam sub kelas S2en, maka pembatas kedalaman efektif (e) adalah pembatas yang dominan dan pembatas ketersediaan hara (n) adalah pembatas kedua.

Kesesuaian lahan pada tingkat satuan merupakan pembagian lebih lanjut dari sub kelas. Semua satuan yang berada dalam satu sub kelas mempunyai tingkat kesesuaian lahan yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis pembatas pada tingkat sub kelas. Simbol kesesuaian lahan pada tingkat satuan dibedakan oleh angka-angka arab yang ditempatkan setelah simbol sub kelas, misalnya S3e-2, S3e-3.

3. Pendekatan Sistem Lahan dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan

Pendekatan sistem lahan (land system approach) atau juga dikenal sebagai survai terpadu (integrated survey) menurut Sitorus (1985), mempunyai arti bahwa semua faktor-faktor fisik lingkungan dipetakan secara simultan. Asal mula dari pendekatan ini bertitik tolak dari penggunaan interpretasi foto udara untuk keperluan pemetaan tingkat tinjau yang cepat. Luas wilayah yang ditempati oleh sistem lahan diperoleh dari pengukuran grid atau titik pada setiap lembar peta skala 1 : 250.000 (Anonim, 1988 dalam Asgar Taiyeb,2007).

Sitorus (1985) menyatakan, bahwa pendekatan sistem lahan merupakan metode yang didasarkan atas interpretasi foto udara dan areal-areal dengan pola yang berulang dari topografi, tanah, vegetasi dipetakan sebagai satuan atau individu sistem lahan. Konsep utama yang digunakan dalam pendekatan sistem lahan ini adalah bahwa di areal-areal tertentu terdapat faktor-faktor lingkungan (topografi, tanah, vegetasi, geologi, geomorfologi dan iklim) yang akan saling berhubungan satu sama lain dan akan menghasilkan pola yang jelas pada potret udara. Pendekatan ini disebut sebagai survai terpadu karena metode ini tergantung pada pengidentifikasian areal-areal yang jelas sebagai hasil integrasi dari variabel lingkungan.

Menurut Sitorus (1985), keuntungan utama dari pendekatan sistem lahan adalah cepat, dan menggunakan integrasi berbagai faktor lingkungan yang berbeda. Manfaat terbesar diperoleh pada evaluasi tingkat tinjau, yang mana dengan relatif sedikit usaha, akan dihasilkan kenaikan informasi yang cukup berharga dibandingkan dengan keadaan sebelumnya di mana informasi tersebut masih sedikit.

Pembagian wilayah pada sistem lahan didasarkan atas kesamaan kondisinya dalam hal bentuk fisiografi (lembah, dataran, teras, perbukitan, pegunungan), kelas kemiringan lapang, amplitudo relief, batuan induk pembentuk tanah, tekstur tanah dan curah hujan tahunan. Sistem lahan yang diperoleh di suatu tempat akan mempunyai ciri-ciri fisik yang sama dengan sistem lahan yang berada di tempat lain (Alhamdulillah, 2003 dalam Asgar Taiyeb,2007).

Mahl (1995) dan Syam dkk. (1995) dalam Asgar Taiyeb (2007) melaporkan, bahwa sistem lahan dapat digunakan sebagai sistem informasi kualitas lahan serta dapat digunakan untuk evaluasi penggunaan lahan. Pengelompokan sistem lahan bertumpu pada informasi litologi dan landform (posisi dan bentuk) yang sama pada masing-masing satuan fisiografi dan dibagi menjadi beberapa satuan lahan yang lebih kecil. Sistem lahan dipublikasi oleh RePPProt (Regional Physical Planning Programme for Transmigration) pada tahun 1988 untuk Sulawesi berdasarkan kesamaan landform dan unsur litologi untuk daerah lowland, sedangkan untuk upland berdasarkan kesamaan landform dan batuan. Informasi litologi didapat dari peta geologi, sedangkan landform dari hasil informasi foto udara dan citra radar. Pendekatan sistem lahan dapat terdiri atas satu jenis tanah atau beberapa jenis tanah. Selanjutnya, pengelompokan jenis tanah dan zona agroklimat pada masing-masing sistem lahan dibagi menjadi satuan-satuan lahan yang lebih kecil yang disebut kompleks lahan yang didasarkan atas kesamaan jenis tanah dan zona agroklimat.

Kota Palu, Sulawesi Tengah terbagi menjadi 8 sistem lahan, yaitu: Bukit Balang (BBG), Bukit Pandan (BPD), Palu (PLU), Sidondo (SSO), Salo Marana (SMA), Salo Puneki (SPI), Salo Saluwan (SSU) dan Telawi (TWI) (Anonim, 1988 dalam Asgar Taiyeb,2007). Kedelapan nama sistem lahan yang serupa telah diteliti oleh Abdullah (2005) dalam Asgar Taiyeb (2007) di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Sistem lahan di Kota Palu telah disusun oleh Christian dan Stewart pada tahun 1968 dalam Anonim (1988 dalam Asgar Taiyeb,2007). Nama sistem lahan terkait dengan lokasi di mana sistem itu mula-mula dinyatakan, atau suatu nama yang khas, misalnya kata “Salo” menunjukkan arti sungai di Sulawesi, sedangkan kata ”Saluwan” pada Sistem Lahan Salo Saluwan adalah nama salah satu etnis/suku bangsa di Sulawesi Tengah. Asal kata untuk sistem lahan lainnya, seperti Sistem Lahan Palu diambil dari nama ibukota propinsi, sedangkan Sidondo adalah nama salah satu desa di Kecamatan Biromaru, Kabupaten Donggala.

Kedelapan nama sistem lahan Kota Palu merupakan bagian dari 90 nama sistem lahan Sulawesi, namun dua nama diantaranya yakni Sistem Lahan Bukit Pandan dan Telawi ternyata sama dengan 2 nama dari 42 sistem lahan di Kalimantan Timur yang dipublikasikan RePPProT sejak tahun 1987 (Ruhiyat, 2004 dalam Asgar Taiyeb,2007) .

Bahan Bacaan

FAO. 1995. Planning for Sustainable Use of Land Resources; Towards a New Approach. FAO Land and Water Bulletin 2, Rome. 60 h.

FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soil Bill No. 32 Rome; and ILRI Publication No 22, Wageningen.

Poerwowidodo. 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman di Indonesia. Rajawali Press, Jakarta. 246 h.

Sitorus S.R.P. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito, Bandung. 186 h.

Asgar Taiyeb. 2007. Kajian Kesesuaian Sistem Lahan Salo Saluwan untuk Pembangunan Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis L.f.) di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Tesis Magister Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 139 h.

Young, A. 1980. Tropical Soils and Soil Survey. Cambridge University Press, London.

No comments: