http://www.idntimes.com/erny/14-situs-untuk-menyelesaikan-skripsi-cepat-waktu. Mulai diakses April 2016.
http://www.naqiyyahsyam.com. Mulai Diakses Mei 2016.
http://www.idntimes.com/erny/14-situs-untuk-menyelesaikan-skripsi-cepat-waktu. Mulai diakses April 2016.
http://www.naqiyyahsyam.com. Mulai Diakses Mei 2016.
Alamasdi Syahza, 2013. Manajemen Laboratorium. Pelatihan Manajemen Pengelolaan Laboratorium PTAIS.http://almasdi.staff.unri.ac.id. (Diakses 26 Maret 2013).
Anggie, 2011. Manajemen Laboratorium.http://anggie-myblog.blogspot.com/2011/04/manajemen-laboratorium.html. (Diakses 26 Maret 2013).
Kariyan, 2009. Penanganan Bahan Kimia Berbahaya.http://okleqs.wordpress.com/2009/03/27/penanganan-bahan-kimia-berbahaya/. (Diakses 26 maret 2013).
Sarna Surya, 2012. Mengenal Manajemen Operasional Laboratorium.http://manajemen-laboratorium.blogspot.com/2012/08/pembuka-kata_30.html. (Diakses 26 Maret 2013).
Suryadi BU, 2012, Manajemen Laboratorium.https://www.academia.edu/5135527/MANAJEMEN_LABORATORIUM.(Diakses 18 April 2016),http://statusfb-keren.blogspot.co.id/2012/09/manajemen-laboratorium.html. (Diakses 29 April 2016).
Suyanta, 2010. Managemen Operasional Laboratorium. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:LUyzjTRJj7QJ:staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/suyanta-msi-dr/manajemen-lab.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk. (Diakses 18 April 2016).
Wikipedia, 2016. Laboratorium.https://id.wikipedia.org/wiki/Laboratorium.(Diakses 29 April 2016).
Selamat datang di BLOG HUTAN DAN LINGKUNGAN Semoga informasi di blog ini bisa bermanfaat bagi pembaca yang budiman.
Selamat datang di BLOG HUTAN DAN LINGKUNGAN Semoga informasi di blog ini bisa bermanfaat bagi pembaca yang budiman.
Keperluan untuk memisahkan tanah hutan dari studi mengenai tanah-tanah lainnya seringkali mengundang banyak pertanyaan. Hal ini timbul dari adanya asumsi bahwa fungsi tanah hutan tidak jauh berbeda dari fungsi tanah-tanah lainnya yang digunakan untuk pengusahaan tanaman keras atau tanaman tahunan. Asumsi ini timbul dari kalangan yang kurang akrab dengan ekosistem hutan dan kurang menyadari akan adanya sifat-sifat tanah yang berasosiasi dengan tegakan hutan.
Vegetasi hutan bersifat sangat kompleks atau ruwet. Pengaruh faktor tanah sangat sukar dilihat terhadap pertumbuhan pohon apalagi pertumbuhan pohon yang bertahun-tahun. Di hutan, jarang terjadi gejala kekurangan (defisiensi) unsur hara kecuali kalau pohon-pohon itu tumbuh ditempat yang ekstrim, misalnya pada tanah berpasir dan ketebalan tanahnya dangkal. Hutan jarang terjadi kekurangan unsur hara karena siklus unsur hara terjamin atau tidak putus. Kompartemen yang berupa kayu umumnya terdiri dari unsur C, H dan O, sedangkan N, P, K kebanyakan terdapat di daun. Selain itu, kebutuhan mendesak akan unsur hara dari pohon jauh lebih kecil ketimbang tanaman pertanian.
Menurut Cahyono Agus (2003), terdapat perbedaan tanah hutan dan tanah pertanian, sebagai berikut:
Pemahaman tentang karakteristik tanah sebagai media pertumbuhan tanaman hutan bagi para rimbawan pada tahun-tahun belakangan ini telah menjadi masalah yang sangat penting terutama setelah adanya masalah yang sangat serius dalam pembangunan dan pengembangan Hutan Tanaman Industri yaitu kegagalan secara total di beberapa tempat. Sebut saja, di PT.ITCI, pengembangan jenis Eucalyptus sp mengalami kegagalan, di PT. Inhutani I penanaman Acacia mangium gagal dan lain-lain.
Pemahaman tentang “ Tanah Hutan “ sangat tidak memadai terutama bagi rimbawan praktisi lapangan sehingga terdapat kegagalan HTI yang terjadi dimana-mana dan ini adalah bukti konkrit dari pemahaman yang serba kurang tersebut. Secara rinci penyebab utamanya adalah: 1).Kurangnya cakupan materi ilmu tanah dalam Kurikulum Ilmu Kehutanan. 2).Pemahaman akan tanah hutan yang salah selama ini dimana tanah hutan dianggap sebagai tanah yang bersifat selalu ”given” dan anggapan ini diberlakukan juga untuk pembangunan hutan tanaman industri.
Tanah hutan adalah tanah yang terbentuk dan berkembang di bawah pengaruh lingkungan hutan. Tegakan hutan sebagai penutup tanah dan serta lantai hutan (lapisan seresah) yang diciptakannya ternyata membentuk suatu iklim mikro dan spektrum mikroorganisme yang spesifik dan berbeda dari apa yang dihasilkan oleh tanah dengan vegetasi penutup lainnya. Adanya proses-proses dinamis, seperti siklus hara serta pembentukan asam-asam organis sebagai produk dekomposisi seresah yang menyebabkan intensifnya pencucian basa-basa, merupakan karakteristik yang khas dari tanah-tanah yang diduduki oleh vegetasi hutan.
Di bagian permukaan tanah hutan, tampaklah berbagai macam semak belukar, rerumputan, dan serasah. Serasah disebut pula lantai hutan meskipun lebih mirip dengan permadani. Serasah adalah guguran segala macam batang, cabang, daun ranting, bunga dan buah. Serasah mempunyai peran penting karena merupakan sumber humus, yaitu lapisan tanah teratas yang subur. Serasah juga menjadi habitat bagi serangga dan berbagai mikroorganisme lain (Wikipedia, 2016).
Secara umum, kondisi ini sangat berbeda dari tanah-tanah yang diduduki oleh padang rumput. Tanah padang rumput biasanya memiliki horizon A1 yang tebal, berwarna gelap serta mempunyai kandungan basa dan bahan organik yang lebih banyak dari yang dimiliki tanah hutan. Padang rumput umumnya berasosiasi dengan kondisi jumlah curah hujan yang agak rendah. Konsentrasi bahan organik yang tinggi serta hasil regenerasi intensif akar-akar serabut rumput serta proses pencucian yang berlangsung kurang intensif, mengakibatkan tanah-tanah padang rumput memiliki tingkat kesuburan yang relatif lebih baik dari tanah-tanah hutan. Bakteri merupakan mikroflora dominan tanah padang rumput sedangkan cacing merupakan mesofauna terpenting.
Tanah hutan dapat dipandang sebagai tanah yang terbentuk di bawah pengaruh vegetasi hutan. Dengan perkataan lain, tanah hutan adalah tanah yang perkembangannya dipengaruhi oleh vegetasi hutan. Awal mulanya bagaimana karakteristik tanah hutan spesifik dengan tanah yang dipengaruhi oleh vegetasi hutan. Pandangan ini didasarkan kepada beberapa keadaan yang ternyata menghasilkan efek unik terhadap genesis tanah yang diduduki tegakan hutan. Keadaan tersebut antara lain: (a) dalamnya perakaran pohon-pohon penyusun tegakan, (b) organisme spesifik yang berasosiasi dengan vegetasi hutan, (c) lapisan seresah serta produk dekomposisinya yang menstimulasi pencucian basa-basa dalam tanah.
Dari sisi potensi, tanah hutan sebagai tempat tumbuh (tapak) bagi jenis tanaman yang ditujukan khusus untuk tanaman kehutanan. Tanah sebagai bagian dari permukaan bumi yang merupakan hasil pelapukan batuan bercampur dengan sisa-sisa bahan organik dari organisme vegetasi dan hewan) yang hidup di atas/di dalamnya. Tanah hutan juga sebagai sistem tiga fase yang tersusun atas fraksi (partikel) pasir, debu dan liat yang merupakan hasil pelapukan batuan induk serta tercampur bahan organik di permukaan bumi.
Tanah hutan memiliki mekanisme yang dikenal dengan siklus hara tertutup. Siklus hara tersebut berputar hanya di dalam hutan. Apabila terjadi pemanenan atau eksploitasi hutan maka unsur hara di dalam pohon akan ikut terbawa atau terangkut keluar hutan. Kondisi demikian yang apabila terjadi terus menerus menyebabkan siklus unsur hara terganggu dan tidak terjadi keseimbangan.(Cepris, 2013).
Pada HTI, pertimbangan daya dukung lahan menetapkan jenis yang sesuai seperti jenis Gmellina arborea bisa untuk satu lahan tertentu tetapi tidak sesuai untuk jenis yang lain. Bila kapabilitas lahan dan kesesuaian lahan untuk pengembangan jenis tertentu telah fix maka persoalan yang muncul adalah Bagaimana agar “hasil maksimal” dengan prinsip “tidak mengganggu” lahan yang dibudidayakan.
Dalam menjawab hal ini maka pemahaman karakteristik tanah dapat menjawab dengan baik. Kebijakan yang diambil pasti berhubungan dengan tanah sebagai tempat tanaman yang dibudidayakan. Lalu bagaimana konsep tentang tanah yang ideal? Tanah yang ideal adalah tanah yang mempunyai keseimbangan fraksi mineral, bahan organik, air dan udara agar mampu menopang tegaknya tanaman, mampu memberikan unsur-unsur hara, air dan sirkulasi udara bagi tumbuhan. Secara rasio pendekatan persentasenya adalah 45 % mineral, 25 % air, 25 % udara dan 5 % bahan organik. Fraksi pasir, debu dan liat juga secara ideal dengan persentase yang relatif seimbang
Agus, Cahyono. 2003. Ilmu Tanah Hutan. UGM, Jogjakarta.
Cepris, 2013. Agroekologis, Perbedaan Ekosistem Pertanian dan Ekosistem Hutan Alam. http://agroekologis.blogspot.co.id/2013/07/perbedaan-ekosistem-pertanian-dan.html. Diakses 22 April 2016.
"laboratory (informally, lab) is a facility that provides controlled conditions in which scientific, or technological research, experiments, and measurement may be performed." (laboratorium informal, lab) adalah fasilitas yang menyediakan kondisi yang terkendali di mana penelitian ilmiah atau teknologi, eksperimen, dan pengukuran dapat dilakukan).
Laboratorium merupakan ujung tombak pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat suatu perguruan tinggi. Laboratorium adalah unit penunjang akademik berupa ruangan tertutup atau terbuka yang permanen atau bergerak, yang dikelola secara sistematis untuk kegiatan pengujian, kalibrasi, dan atau produksi dalam skala terbatas. Laboratorium menggunakan bahan dan peralatan berdasarkan metode keilmuan tertentu dalam rangka kegiatan pendidikan, penelitian, dan/atau pengabdian pada masyarakat (Kemendiknas, 2010).
Laboratorium sebagai sarana penunjang dan penelitian bagi mahasiswa menjadi ujung tombak dalam berintegrasinya antara ilmu teoritis dan ilmu aplikasi. Di dalam pembelajaran sains, laboratorium berperan sebagai tempat kegiatan penunjang dari kegiatan kelas. Bahkan mungkin sebaliknya bahwa yang berperan utama dalam pembelajaran sains adalah laboratorium, sedangkan kelas sebagai tempat kegiatan penunjang (Koesmadji et.all, 2000).
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, tenaga laboran/teknisi di laboratorium khususnya melakukan berbagai layanan mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan pembelajaran praktikum mulai dari persiapan, pelaksanaan, sampai praktikum selesai bahkan di luar praktikum itu sendiri laboran/teknisi harus melayani para mahasiswa yang melakukan riset ataupun melayani dari pihak ketiga.
Sejalan dengan hal itu, Kemndiknas telah menetapkan program-program strategis antara lain pengembangan SDM melalui pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, baik untuk memenuhi kebutuhan organisasi maupun pengembangan kariernya. Demikian halnya, tenaga pendidikan yang mengelola laboratorium/kebun percobaan/bengkel kerja/studio, dengan jabatan teknisi/laboran/instruktur ditingkatkan kompetensinya agar profesional sejalan dengan tuntutan laboratorium berstandar ISO 17025.
Perangkat untuk mewujudkan pengembangan SDM teknisi/laboran pada khususnya yaitu pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 02/V/PB/2010 dan Nomor 13 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pranata Laboratorium Pendidikan dan Angka Kreditnya.
Dengan peraturan tersebut otomatis memberikan energi baru bagi para laboran/teknisi atas perjuangan aspirasi yang cukup panjang mengenai sistem karier yang sistematis dan jelas.
Sejak itu, berbagai kegiatan sosialisasi yang telah dilakukan sebagai bentuk responsif atas kebijakan dan implementasi kepada para laboran/teknisi. Misalnya, kegiatan sosialisasi oleh seminar untuk memberikan informasi pengertian, ruang lingkup, dan berbagai hal terkait Penerapan Jabatan Fungsional Pranata Laboratorium Pendidikan dan Angka Kreditnya. Standar kompetensi PLP adalah kemampuan minimal yang wajib dimiliki oleh seorang PLP dalam melaksanakan tugas, tanggungjawab, dan wewenangnya untuk mengelola laboratorium.
Uji kompetensi PLP adalah cara untuk mengukur kemampuan PLP. Menurut Pasal 21 standar kompetensi PLP mencakup pengoperasian peralatan laboratorium, pengelolaan bahan laboratorium dan penerapan metode kerja laboratorium. Uji kompetensi wajib diikuti oleh PLP yang akan naik jabatan. Standar kompetensi dan uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.
Tempat kegiatan praktikum dan penelitian yang mendukung pembelajaran dan pengembangan keilmuan disebut laboratorium. Beberapa kelompok laboratorium diantaranya: laboratorium pendidikan dan pengajaran (teaching laboratory), laboratorium riset (research labratory), laboratorium dasar terpadu (basic science laboratory, laboratorium pengujian (test laboratory), laboratorium kalibrasi (calibration laboratory), laboratorium simulasi (simulation laboratory), bengkel (workshop), studio gambar, rumah kaca (green house), persemaian (nursery), dan laboratorium lapangan (field laboratory).
Laboratorium baik ruangan tertutup maupun terbuka, bersifat permanen atau bergerak, dikelola secara sistematis baik untuk kegiatan pengujian, kalibrasi atau produksi dalam skala terbatas yang dirancang sesuai dengan metode keilmuan tertentu untuk melakukan aktivitas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Permenpan, 2010).
Perguruan tinggi sebagai jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang berbentuk akademi, institut, politeknik, sekolah tinggi atau universitas secara umum memiliki laboratorium baik yang bertipe laboratorium dasar, laboratorium jurusan maupun laboratorium terpadu guna memenuhi kebutuhan pengguna dalam rangka tri dharma penguruan tinggi. Laboratorium di perguruan tinggi merupakan laboratorium pendidikan dan pengajaran yang difokuskan pada pembelajaran bagi mahasiswa baik jenjang Diploma, S1, S2 dan S3.
Dalam pelaksanaannya, laboratorium di tingkat perguruan tinggi, perlu dikelola oleh orang-orang yang tentunya berkompeten di bidangnya agar kegiatan praktikum dan penelitian yang mendukung pembelajaran dan pengembangan keilmuwan berlangsung secara optimal. Seseorang yang bertugas membantu aktivitas mahasiswa atau dosen di laboratorium dalam melakukan suatu kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat disebut tenaga laboratorium. Tenaga laboratorium perguruan tinggi meliputi teknisi, laboran dan penyebutan staf laboratorium lainnya seperti instruktur dan administrasi laboratorium.
Tenaga laboratorium merupakan tenaga pendidikan yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang kegiatan proses pendidikan tinggi, diantaranya meliputi laboran, teknisi dan analis. Laboran bertanggung jawab dalam menyediakan peralatan yang diperlukan untuk kegiatan praktikum (praktek kerja) dan penelitian serta mengembalikan peralatan tersebut ke tempat semula, merapikan dan membersihkan area kerja setelah kegiatan selesai dilakukan. Dalam melaksanakan praktikum, laboran menyiapkan alat dan bahan, membantu pelaksanaan praktikum serta mengemasi/membersihkan bahan dan alat setelah praktikum.
Teknisi berperan untuk beroperasinya peralatan laboratorium misalnya listrik, air, komputer dan perbengkelan, disamping pemeliharaan/perawatannya yang dalam melaksanakan tugas utamanya membutuhkan pengetahuan dan pengalaman teknis. Mereka terlibat dalam aktivitas penelitian dengan melakukan tugas ilmiah dan teknis yang menyangkut aplikasi konsep dan metode (LIPI, 2006). Sementara itu, analisis adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan analisis pada bidang keilmuan tertentu. Bidang keilmuan yang berhubungan dengan laboratorium pendidikan tinggi misalnya, kimia, fisika, biologi, teknik, seni dan arsitektur, pertanian, kehutanan dan bidang lainnya.
Sejak tahun 2010, tenaga laboratorium tersebut berubah status dari tenaga administrasi menjadi tenaga fungsional sekaligus berganti nama menjadi Pranata Laboratorium Pendidikan yang disingkat PLP. PLP adalah jabatan fungsional yang telah dibentuk berdasarkan Penmen PAN dan RB No 03 Tahun 2010 terwujud melalui kronologi, serangkaian waktu yang panjang dengan uji petik pada beberapa pendidikan tinggi, dengan perumusan yang cukup mendalam. Lahirnya Peraturan Menteri tersebut tentang Jabatan fungsional PLP dan Angka Kreditnya menjadi payung hukum bagi PLP sebagai jabatan fungsional tertentu yang diemban oleh pegawai negeri sipil yang bekerja pada laboratorium pendidikan. Jabatan PLP tersebut merupakan bidang pekerjaan khusus sesuai bidang tugasnya dalam pengelolaan laboratorium.
Eksistensi PLP di suatu laboratorium sangatlah penting dalam menentukan keberhasilan akademik. Oleh karena itu, laboran seyogyanya memiliki hard skills dan soft skills yang memadai. Inisiatif, ketekunan, kreatifitas, kecakapan, dan keterampilan serta pengetahuan yang dikuasai laboran membantu efisiensi dan efektifitas serta produktifitas dari laboratoriun yang dikelola perguruan tinggi. Meskipun, fakta yang ada menunjukkan bahwa masih banyak laboratorium pendidikan yang tidak melibatkan PLP sebagaimana fungsinya terutama untuk kepentingan praktikum dan penelitian.
Data PLP yang penulis peroleh dari Diklat Tenaga Kependidikan PLP yang diselenggarakan Dirjen Dikti tercatat 3.179 PNS dari seluruh Perguruan Tinggi di tanah air yang telah inpassing sampai Agustus 2012 dengan rincian 2.172 PLP tingkat terampil dan 1.007 PLP Ahli. Pada tingkat terampil, terdiri dari 684 PLP Pelaksana, 1.435 PLP Pelaksana Lanjutan dan 53 PLP Penyelia. Sementara itu, PLP Ahli tersebar menjadi 3 kategori dimana PLP Pertama 704 orang, PLP Muda 255 orang dan PLP Madya 48 orang. Penyebaran dan jumlah tenaga PLP terus mengalami perubahan kategori jabatan terutama karena adanya kenaikan jabatan fungsional maupun alih jalur dari PLP Terampil ke PLP Ahli.
Menristekdikti dalam sambutannya pada pelantikan Rektor Unpatti di Jakarta seperti pada laman dikti.go.id (24/02/16) menghimbau perguruan tinggi supaya menyiapkan kompetensi sumberdaya yang lebih baik. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa, mengingat persaingan yang semakin ketat. Lulusan perguruan tinggi dengan sumberdaya yang kuat agar mampu berkiprah di era persaingan yang semakin ketat demi membangun bangsa ke arah yang lebih baik lagi.
Civitas akademika yang ada di perguruan tinggi seperti dosen, mahasiswa dan karyawan termasuk PLP. Menristekdikti mengharapkan agar civitas akademika dalam melaksanakan tugas/pekerjaannya agar tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, civitas akademika harus berjalan bergandengan tangan untuk bersama meningkatkan kualitas perguruan tinggi. Dengan harapan, perguruan tinggi di Indonesia kedepan harus bisa semakin mendunia, dan semakin banyak menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi kelas dunia.
Di dunia pendidikan, sering kita mendengar istilah kurikulum berbasis kompetensi dan uji kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan, termasuk uji kompetensi baik kalangan dosen, guru, dan pustakawan. Sementara itu, uji kompetensi bagi tenaga fungsional PLP masih tergolong baru sejak peralihan dari tenaga administrasi (fungsional umum). Fungsi dan jabatan PLP sangat berbeda dengan pegawai non PLP. PLP berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang pengelolaan laboratorium. Dengan demikian jabatan PLP memerlukan persyaratan-persyaratan khusus yang berbeda dengan pegawai non PLP.
Di satu sisi, menjadi angin segar yang sudah lama dinantikan bagi PLP seiring adanya tunjangan fungsional yang diterimanya dari jabatan profesi tersebut. Disisi lain, PLP bukan hanya semata-mata mengejar “koin” dalam mengelola laboratorium, namun dituntut pula untuk mendokumentasikan dan melaporkan pekerjaannya untuk mencapai “poin” yang telah ditetapkan sesuai jenjangnya supaya tidak terdegradasi dari karier PLP.
Menjadi suatu fakta, sebelumnya beberapa tenaga PLP beralih ke jabatan lain sewaktu karier PLP belum mendapat perhatian, terlebih adanya ketidakpahaman bahkan kurangnya pekerjaan yang harus dikelola di laboratorium. Dengan demikian, kompetensi merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui. Agar PLP menjadi handal atau profesional, mereka diharapkan mempunyai keahlian/kompetensi di bidangnya. Misalnya untuk PLP di laboratorium kehutanan diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi dan pemahaman dalam bidang kimia dengan kualifikasi minimum D-3 di bidang Ilmu Kehutanan.
Apa sih kompetensi itu? Spencer, McClelland dan Spencer 1994 menjelaskan bahwa kompetensi dapat diartikan sebagai karakter individu yang dapat diukur dan ditentukan untuk menunjukkan perilaku dan performa kerja tertentu pada diri seseorang (Spencer, McClelland & Spencer, 1994). Jadi, kompetensi PLP merupakan panduan bagi institusi dalam hal ini perguruan tinggi untuk menunjukkan fungsi kerja yang tepat bagi seorang karyawan yang bekerja di bidang pengelolaan laboratorium. Kompetensi berkaitan dengan sikap (apa yang dikerjakan atau dilakukan seorang PLP) yang menunjukkan performanya apakah baik atau buruk. Jadi, pengertian kompetensi PLP tidak lain adalah karakteristik dan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai tugas atau fungsi jabatan PLP.
Berdasarkan peraturan menteri Pan nomor 03 tahun 2010 tersebut, PLP diwajibkan memenuhi kompetensi dalam mengelola laboratorium. Agar mampu menjadi PLP yang profesional, PLP dituntut untuk memahami makna kompetensi ini. Pemahaman ini tidak hanya berupa teori, tetapi juga bagaimana kompetensi ini dapat diterjemahkan dalam kehidupan PLP, khususnya dalam praktek di laboratorium.
Petunjuk teknis standar kompetensi PLP adalah kemampuan minimal yang wajib dimiliki oleh seorang PLP dalam melaksanakan tugas, tanggungjawab dan wewenangnya untuk mengelola laboratorium. Perolehan Sertifikat Profesi Mengikuti uji kompetensi/sertifikasi dan mendapat Sertifikat Program tindaklanjut yang dibuat sangat tergantung kepada hasil evaluasi efektivitas penggunaan seluruh bahan umum yang dimiliki laboratorium selama setahun kegiatan.
Unsur evaluasi setidaknya harus mencakup jumlah bahan yang tersisa atau kekurangannya, masa kadaluarsa, kelayakan pakai, kinerja suplier, metode kerja, serta human error dalam penggunaan bahan-bahan tersebut. Program yang dibuat sebagai respon/tindaklanjut terhadap setiap unsur hasil evaluasi tersebut misalnya adalah revisi metode kerja (SOP), peningkatan kompetensi personil untuk pencegahan dan penanggulangan human error, perlu tidaknya penggantian/pembelian supplier bahan dan merek bahan, atau lainnya. Program tindaklanjut yang disusun, selain harus terukur untuk memudahkan menilai capaiannya, juga harus disesuaikan dengan alokasi anggaran yang tersedia. Kegiatan ini dilakukan satu kali per tahun, dan dijabarkan untuk masing-masing.
Uji kompetensi PLP adalah cara untuk mengukur kemampuan PLP. Kompetensi PLP dimaknai sebagai kecakapan atau kemampuan dalam mengelola labotaratorium. Kompetensi ini berupa seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh seseorang PLP dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi tersebut dapat pula direfleksikan sebagai kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan yang didasari oleh budi pekerti yang luhur jika dilatih terus menerus memungkinkan seorang PLP menjadi kompeten.
Perguruan tinggi akan berkembang jika dan mampu menghasilkan lulusan yang kompetitif apabila didukung oleh pegawai yang kompeten termasuk PLP. Keberadaan PLP di laboratorium sangat menentukan berhasil tidaknya fungsi labotatorium sebagai penunjang akademik, menentukan keberlangsungan pengajaran bagi dosen dan pelajaran bagi mahasiswa. PLP perlu memiliki kompetensi, baik hard skills maupun soft skills.(SK Mendiknas No 45/U/2002). Dengan adanya keahlian dan keterampilan PLP, dapat mendorong terciptanya efesiensi, efektifitas serta produktivitas laboratorium yang dikelola oleh unit laboratorium.
Untuk meningkatkan proses pelayanan yang diberikan oleh PLP kepada pengguna laboratorium secara efesien, efektif dan produktif, maka perlu kompetensi PLP. Hal ini juga bertujuan agar pelayanan yang diberikan tidak perlu proses yang kelamaan, dan mengatasi sejumlah kelemahan dalam memberikan pelayanan kepada penguna laboratorium. Oleh karena, diperlukan kompetensi yang memadai agar dapat meberikan pelayanan yang prima kepada penguna laboratorium. Untuk mencapai hasil kerja yang maksimal dan memuaskan maka diperlukan kompetensi yang dimiliki PLP.
Kompetensi mempunyai peranan yang amat penting untuk dimiliki PLP mengingat kompetensi adalah kemampuan dasar dalam mengelola laboratorium. Kompetensi tersebut sebagai perpaduan dari aspek atau dimensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang terindikasikan dalam kemampuan dan perilaku seseorang sesuai tuntutan pekerjaan dalam bidang pengelolaan laboratorium. Aspek pengetahuan menentukan tingkat pemahaman PLP dalam mengelola laboratorium, sementara itu aspek keterampilan menentukan tingkat keterampilan PLP dalam mengelola laboratorium. Pemahanan ini sesuai dengan UU RI No.13/2003 yang menyebutkan bahwa kompetensi kerja adalah kemampuan setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Menurut Ahmad Amins (2009) dan Moeheriono (2009), kompetensi adalah salah satu aspek yang menentukan kinerja, selain keinginan dan lingkungan kerja. Kompetensi, yaitu kemahiran dan penguasaan pegawai sesuai tuntutan jabatan, pengetahuan, keterampilan, dan keahliannya, seperti kepemimpinan, inisiatif, dan komitmen.
Permen PANRB RI No 03/2010 pasal 33 menyebutkan bahwa standar kompetensi PLP mencakup: pegoperasian peralatan laboratorium, pengelolaan bahan laboratorium serta penerapan metode kerja laboratorium.
Keberhasilan seorang PLP melaksanakan tri darma perguruan tinggi sangat ditentukan oleh kompetensi yang dimilikinya. Tujuan inplementasi kompetensi PLP ini agar kompetensinya sebagai pegawai negeri sipil, baik teknis dan manajerial, dapat terukur secara akurat dan dapat diakui oleh organisasi (BKN, 2013). Oleh sebab itu, kompetensi PLP mencakup kompetensi keahlian dan kompetensi manajerial. Disamping kompetensi teknis dan manajerial, seorang PLP juga perlu memiliki kompetensi kepribadian dan sosial dalam laboratorium. Pada kesempatan ini penulis mencoba mengolah kompetensi PLP di Perguruan Tinggi, sebagai berikut:
Pertama, kompetensi kepribadian. Kompetensi kepribadian PLP dapat diartikan sebagai kemampuan personal PLP yang mencerminkan etos kerja, integritas diri, keterbukaan terhadap kritik, saran atau pendapat serta kreativitas dan inovasi. Sub kompetensi dalam kompetensi kepribadian meliputi: kepribadian yang bersemangat, tangguh dan tekun dalam bekerja, jujur teguh pada prinsip, konsentrasi pada pekerjaan, bertanggungjawab pada tugas dan kewajiban serta menjadi teladan bagi rekan kerja atau teman sejawat, bersedia menerima kritik, saran pendapat dan masukan dari atasan, sejawat dan pengguna laboratorium, memiliki kreativitas dan gagasan untuk mengembangkan laboratorium tempatnya bekerja agar sesuai atau melebihi standar pengelolaan laboratorium pendidikan tinggi. Dalam menjalankan perannya, PLP dituntut berperilaku positif untuk menumbuhkan minat, sikap, apresiasi dan cara penyesuaian diri terhadap pekerjaan di laboratorium.
Kepribadian dapat mempengaruhi keahlian manajer dan pekerja dalam sejumlah kompetensi, termasuk dalam penyelesaian konflik, menunjukan kepedulian interpesonal, kemampuan bekerja dalam tim, memberikan pengaruh dan membangun hubungan.
Kedua, kompetensi keahlian. Kompetensi pada dimensi keahlian ditekankan dalam hal kemampuannya terhadap pengoperasian peralatan, penggunaan bahan, dan pemeliharaan peralatan dan bahan. Dengan kompetensi keahlian, maka semestinya PLP memiliki keahlian yang sesuai dengan laboratorium tempat bekerja. Terkait dengan itu, PLP seyogyanya memiliki latar belakang pendidikan yang relevan dengan bidang tugas di laboratorium mana ia bekerja. Misalnya seorang PLP yang bekerja di laboratorium Kehutanan seyogyanya memiliki pendidikan minimal D3 Kehutanan sampai Strata 1,2 atau 3 di bidang Kehutanan. Supaya dalam bekerja, misalnya menangani mahasiswa atau peneliti di bidang tersebut tidak kaku meghadapinya berkat pengalaman seorang PLP yang pernah kuliah pada bidang tersebut. Menjadi ironi jika dia tidak lebih kompoten dibanding mahasiswa atau penelitinya.
Kompetensi PLP disesuaikan dengan jenjang jabatannya. Seorang PLP Terampil diharapkan dapat memiliki kemampuan menjelaskan pengoperasian peralatan dan penggunaan bahan kepada pengguna labotatorium. Di samping memberi penjelasan, PLP Terampil diharapkan pula mampu mengoperasikan peralatan labotatorium dan merawat peralatan setelah pemakaian. Sementara itu, jabatan PLP Ahli lebih ditekankan pada kemampuannya dalam menjaga dam memelihara keselamatan kerja, mengkalibrasi peralatan sebelum pemakaian alat, serta kemampuannya dalam melakukan simulasi kasus.
Syarat pendidikan untuk menduduki jabatan PLP adalah minimal D3 untuk PLP terampil dan minimal S1 untuk PLP Ahli. PLP Terampil yang melanjutkan pendidikannya ke S1 pada pendidikan yang sesuai dengan laboratorium dimana ia bertugas dapag dipertimbangkan menjadi PLP Ahli, sepanjang memenuhi formasi yang tersedia.
Akan tetapi, justru kompetensi dari pengetahuan dan keterampilan atau keahlian labih mudah untuk dikembangkan apabila akan menambah atau meningkatkan kompetensi tersebut yaitu dengan cara menambah program pendidikan dan pelatihan bagi pegawai yang masih dianggap kurang kompetensinya.
Disamping memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai, seorang PLP juga ahli dalam menjaga keselamatan dan keamanan kerja (K3), mampu mengkalibrasi peralatan laboratorium, mampu menangani limbah bahan laboratorium, mampu menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dan penguasaan bahasa Inggris. Terhadap penguasaan bahasa Inggris diperlukan manakalah laboratorium menjadi mitra kerja dengan pihak asing dan demi kelancaran dalam menerjemahkan manual operasional peralatan yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Inggris.
Kompetensi juga mutlak dibutuhkan oelh PLP yang mendapat tugas untuk menjadi tim penilai. Menjadi Tim penilai perlu memiliki kompetensi/keahlian serta mampu menilai prestasi kerja sesama PLP. Tentunya, PLP yang diangkat adalah yang menjadi tim penilai angka kredit adalah pejabat yang mempunyai kompetensi dalam penilaian prestasi kerja di bidang pengelolaan laboratorium.
Ketiga, kompetensi manajerial. Secara umum, kompentesi manajerial (soft skills) telah dirumuskan dalam Perka BKN No 7 2013 tentang Pedoman Standar Kompetensi Manajerial PNS. Berdasarkan acuan itu, maka kompetensi PLP pada aspek manajerial dapat dijabarkan melalui butir-butir kegiatan yang mencakup perancangan kegiatan laboratorium, pengevaluasian kegiatan laboratorium dan pengembangan kegiatan laboratorium. Hal ini dimaksudkan agar PLP mampu membuat dan mengevaluasi SOP, mampu membuat program kegiatan tahunan, mampu mengestimasi anggaran biaya laboratorium, mampu membuat dan mengembangkan metode unjuk kerja peralatan laboratorium.
Kemampuan/ketrampilan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu yang melaksanakan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya, kemampuan karyawan dalam memilih metode kerja yang dianggap lebih efektif dan efisien.
Managerial merupakan kompetensi yang secara spesifik berkaitan dengan pengelolaan, pengawasan, dan mengembangkan orang lain. Kompetensi manajerial berupa : memotivasi, memberdayakan, dan mengembangkan orang lain. Kompetensi manajerial merupakan kompetensi yang mencerminkan aktivitas manajerial dan kinerja yang diperlukan dalam peran tertentu.
Sependek pengetahuan penulis, PLP juga diharapkan mampu membuat dan mengembangkan metode peningkatan kinerja peralatan, mampu membuat dan mengembangkan metode pengelolaan limbah laboratorium. Bukan hanya itu, PLP juga diharapkan memiliki kemampuan manajerial dalam meningkatkan mutu pelayanan labotatorium serta dapat membangun dan melaksanakan kerjasama dengan pihak luar.
Kompetensi Manajerial yaitu kompetensi yang berhubungan dengan berbagai kemampuan manajerial yang dibutuhkan dalam menangani tugas organisasi. Kompetensi manajerial meliputi kemampuan menerapkan konsep dan teknik perencanaan (membuat rencana kerja), pengorganisasian (membentuk tim work), pengendalian (hasil pelaksanaan kegiatan seperti nota hasil pemeriksaan, anjuran, hasil survai kebutuhan lowongan kerja, hasil survai kebutuhan pelatihan kerja) dan evaluasi kinerja unit organisasi (berupa panggilan dinas dalam rangka pembinaan.
Fungsi PLP adalah memperlancar proses belajar mengajar di unit kerja laboratorium kerja yang dikelolanya. Selain bertanggung jawab atas administrasi laboratorium, pengelolaan bahan, kelancaran fungsi peralatan laboratorium, juga bertanggung jawab terhadap pengembangan laboratorium untuk masa yang akan datang.
Apa saja yang perlu dikelola PLP di laboratorium? Sebagaimana termaktub dalam Permenpan RB, Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) serta Juknis (Petunjuk Teknis) PLP bahwa hal yang bisa dilakukan, tergantung pada jenjang jabatan yang disandangnya. Pada tingkat PLP terampil (jenjang Pelaksana, Pelaksana Lanjutan dan Penyelia) tentu lebih banyak bersentuhan dengan kegiatan yang lebih banyak berkutat masalah teknis, sementara pada tingkat PLP Ahli (Ahli Pertama, Ahli Muda dan Ahli Madya) lebih fokus ke masalah perencanaan. Meskipun demikian, dalam prakteknya masih memungkinkan PLP bekerja di atas dan di bawah jenjang sesuai kondisi atau keterbatasan sumberdaya laboratorium dan petunjuk dari pimpinan laboratorium.
Keempat, kompetensi sosial. Kompetensi sosial ini kemampuan melakukan hubungan sosial dengan dosen, teman sejawat, mahasiswa dan masyarakat dalam mengelola laboratorium. Kompetensi PLP pada dimensi sosial dititik beratkan pada sub kompetensi kerjasama dan komunikasi. Hal ini diharapkan agar PLP mampu bekerjasama dengan atasan (kepala laboratorium), rekan kerja (sesama PLP), pengguna laboratorium (mahasiswa, dosen dan peneliti lainnya) dan masyarakat sekitar. Kerjasama yang bagaimana?
Di samping itu, proses pengelolaan laboratorium tidak dapat berjalan dengan baik apabila PLP tidak mampu berkomunikasi dengan baik dengan pengguna dan pengelola lainnya di lingkungan laboratorium. Oleh karena itu, seorang PLP harus memiliki sub kompetensi komunikasi.
Kemampuan PLP dalam berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif baik di lingkungan laboratorium maupun di luar laboratorium perlu dikembangkan sehingga terjalin komunikasi yang berkelanjutan. PLP juga sebagai bagian dari masyarakat, sekurang-kurangnya memiliki kompetensi untuk: (a) berkomunikasi secara lisan, (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, (c) bergaul secara efektif sesama pengguna dan pengelola laboratorium lain, (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
Dengan memperbaiki keterampilan berbicara didepan umum dan menulis, individu akan meningkat kecakapannya dalam kompetensi tentang perhatian terhadap komunikasi. Pengembangan keterampilan yang secara spesifik berkaitan dengan kompetensi dapat berdampak baik pada budaya organisasi dan kompetensi individual.
Moeheriono (2009), kompetensi pendukung, adalah kompetensi yang diperlukan untuk membantu atau mendukung terwujudnya pelaksanaan jabatan tertentu, yang terdiri atas berikut : komunikasi, dan teknologi informasi.
Hasil yang diharapkan dari komunikasi adalah komunikasi yang efektif dengan penguna lab, teman sejawat profesi perguruan tinggi lain dan masyarakat.
Kemampuan Sosial adalah kemampuan melakukan komunikasi yang dibutuhkan oleh organisasi dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Seperti lingkungan eksternal yaitu melaksanakan pola kemitraan (dengan Apindo, serikat-serikat pekerja yang ada dan PT. Jamsostek selaku badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, lembaga-lembaga pelatihan kerja).
Kompetensi-kompetensi tersebut dapat dikatakan sebagai kompetensi minimal dan harus dikembangkan sendiri oleh PLP secara berkelanjutan. Dimasa depan, kompetensi PLP sudah tertuang dalam aturan yang jelas seperti UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen dengan 4 kompetensinya (pedagodik, kepribadian, social dan professional). Perlu pembinaan kompetensi untuk meningkatkan professional dan karier PLP.
*Penulis adalah Pranata Laboratorium Pendidikan Muda Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako