Friday, April 22, 2016

Tanah hutan

Keperluan untuk memisahkan tanah hutan dari studi mengenai tanah-tanah lainnya seringkali mengundang banyak pertanyaan. Hal ini timbul dari adanya asumsi bahwa fungsi tanah hutan tidak jauh berbeda dari fungsi tanah-tanah lainnya yang digunakan untuk pengusahaan tanaman keras atau tanaman tahunan. Asumsi ini timbul dari kalangan yang kurang akrab dengan ekosistem hutan dan kurang menyadari akan adanya sifat-sifat tanah yang berasosiasi dengan tegakan hutan.

Vegetasi hutan bersifat sangat kompleks atau ruwet. Pengaruh faktor tanah sangat sukar dilihat terhadap pertumbuhan pohon apalagi pertumbuhan pohon yang bertahun-tahun. Di hutan, jarang terjadi gejala kekurangan (defisiensi) unsur hara kecuali kalau pohon-pohon itu tumbuh ditempat yang ekstrim, misalnya pada tanah berpasir dan ketebalan tanahnya dangkal. Hutan jarang terjadi kekurangan unsur hara karena siklus unsur hara terjamin atau tidak putus. Kompartemen yang berupa kayu umumnya terdiri dari unsur C, H dan O, sedangkan N, P, K kebanyakan terdapat di daun. Selain itu, kebutuhan mendesak akan unsur hara dari pohon jauh lebih kecil ketimbang tanaman pertanian.

Menurut Cahyono Agus (2003), terdapat perbedaan tanah hutan dan tanah pertanian, sebagai berikut:

  1. Ada pengolahan tanah pada tanah pertanian, sedangkan pada tanah hutan relatif tidak ada.
  2. Ada masukan faktor teknologi seperti pupuk dan sebagainya pada tanah pertanian, sedangkan pada tanah hutan relatif masih alami.
  3. Siklus unsur hara pada tanah hutan tertutup, sedangkan pada tanah pertanian terbuka.
  4. Jangka waktu berproduksi pada tanah hutan lebih lama daripada tanah pertanian
  5. Penanganan pada tanah hutan berlangsung ekstensif, sedangkan pada tanah pertanian intensif.
  6. Lapisan organik pada tanah hutan tebal, sedangkan pada tanah pertanian relatif tidak ada.
  7. Jenis/species pada tanah hutan berupa tanamam yang berumur panjang, sedangkan pada tanah pertanian berumur pendek.
  8. Panenan pada tanah hutan adalah kayu, sedangkan pada tanah pertanian adalah buah dan biji-bijian.

Pemahaman tentang karakteristik tanah sebagai media pertumbuhan tanaman hutan bagi para rimbawan pada tahun-tahun belakangan ini telah menjadi masalah yang sangat penting terutama setelah adanya masalah yang sangat serius dalam pembangunan dan pengembangan Hutan Tanaman Industri yaitu kegagalan secara total di beberapa tempat. Sebut saja, di PT.ITCI, pengembangan jenis Eucalyptus sp mengalami kegagalan, di PT. Inhutani I penanaman Acacia mangium gagal dan lain-lain.

Pemahaman tentang “ Tanah Hutan “ sangat tidak memadai terutama bagi rimbawan praktisi lapangan sehingga terdapat kegagalan HTI yang terjadi dimana-mana dan ini adalah bukti konkrit dari pemahaman yang serba kurang tersebut. Secara rinci penyebab utamanya adalah: 1).Kurangnya cakupan materi ilmu tanah dalam Kurikulum Ilmu Kehutanan. 2).Pemahaman akan tanah hutan yang salah selama ini dimana tanah hutan dianggap sebagai tanah yang bersifat selalu ”given” dan anggapan ini diberlakukan juga untuk pembangunan hutan tanaman industri.

Tanah hutan adalah tanah yang terbentuk dan berkembang di bawah pengaruh lingkungan hutan. Tegakan hutan sebagai penutup tanah dan serta lantai hutan (lapisan seresah) yang diciptakannya ternyata membentuk suatu iklim mikro dan spektrum mikroorganisme yang spesifik dan berbeda dari apa yang dihasilkan oleh tanah dengan vegetasi penutup lainnya. Adanya proses-proses dinamis, seperti siklus hara serta pembentukan asam-asam organis sebagai produk dekomposisi seresah yang menyebabkan intensifnya pencucian basa-basa, merupakan karakteristik yang khas dari tanah-tanah yang diduduki oleh vegetasi hutan.

Di bagian permukaan tanah hutan, tampaklah berbagai macam semak belukar, rerumputan, dan serasah. Serasah disebut pula lantai hutan meskipun lebih mirip dengan permadani. Serasah adalah guguran segala macam batang, cabang, daun ranting, bunga dan buah. Serasah mempunyai peran penting karena merupakan sumber humus, yaitu lapisan tanah teratas yang subur. Serasah juga menjadi habitat bagi serangga dan berbagai mikroorganisme lain (Wikipedia, 2016).

Secara umum, kondisi ini sangat berbeda dari tanah-tanah yang diduduki oleh padang rumput. Tanah padang rumput biasanya memiliki horizon A1 yang tebal, berwarna gelap serta mempunyai kandungan basa dan bahan organik yang lebih banyak dari yang dimiliki tanah hutan. Padang rumput umumnya berasosiasi dengan kondisi jumlah curah hujan yang agak rendah. Konsentrasi bahan organik yang tinggi serta hasil regenerasi intensif akar-akar serabut rumput serta proses pencucian yang berlangsung kurang intensif, mengakibatkan tanah-tanah padang rumput memiliki tingkat kesuburan yang relatif lebih baik dari tanah-tanah hutan. Bakteri merupakan mikroflora dominan tanah padang rumput sedangkan cacing merupakan mesofauna terpenting.

Tanah hutan dapat dipandang sebagai tanah yang terbentuk di bawah pengaruh vegetasi hutan. Dengan perkataan lain, tanah hutan adalah tanah yang perkembangannya dipengaruhi oleh vegetasi hutan. Awal mulanya bagaimana karakteristik tanah hutan spesifik dengan tanah yang dipengaruhi oleh vegetasi hutan. Pandangan ini didasarkan kepada beberapa keadaan yang ternyata menghasilkan efek unik terhadap genesis tanah yang diduduki tegakan hutan. Keadaan tersebut antara lain: (a) dalamnya perakaran pohon-pohon penyusun tegakan, (b) organisme spesifik yang berasosiasi dengan vegetasi hutan, (c) lapisan seresah serta produk dekomposisinya yang menstimulasi pencucian basa-basa dalam tanah.

Dari sisi potensi, tanah hutan sebagai tempat tumbuh (tapak) bagi jenis tanaman yang ditujukan khusus untuk tanaman kehutanan. Tanah sebagai bagian dari permukaan bumi yang merupakan hasil pelapukan batuan bercampur dengan sisa-sisa bahan organik dari organisme vegetasi dan hewan) yang hidup di atas/di dalamnya. Tanah hutan juga sebagai sistem tiga fase yang tersusun atas fraksi (partikel) pasir, debu dan liat yang merupakan hasil pelapukan batuan induk serta tercampur bahan organik di permukaan bumi.

Tanah hutan memiliki mekanisme yang dikenal dengan siklus hara tertutup. Siklus hara tersebut berputar hanya di dalam hutan. Apabila terjadi pemanenan atau eksploitasi hutan maka unsur hara di dalam pohon akan ikut terbawa atau terangkut keluar hutan. Kondisi demikian yang apabila terjadi terus menerus menyebabkan siklus unsur hara terganggu dan tidak terjadi keseimbangan.(Cepris, 2013).

Pada HTI, pertimbangan daya dukung lahan menetapkan jenis yang sesuai seperti jenis Gmellina arborea bisa untuk satu lahan tertentu tetapi tidak sesuai untuk jenis yang lain. Bila kapabilitas lahan dan kesesuaian lahan untuk pengembangan jenis tertentu telah fix maka persoalan yang muncul adalah Bagaimana agar “hasil maksimal” dengan prinsip “tidak mengganggu” lahan yang dibudidayakan.

Dalam menjawab hal ini maka pemahaman karakteristik tanah dapat menjawab dengan baik. Kebijakan yang diambil pasti berhubungan dengan tanah sebagai tempat tanaman yang dibudidayakan. Lalu bagaimana konsep tentang tanah yang ideal? Tanah yang ideal adalah tanah yang mempunyai keseimbangan fraksi mineral, bahan organik, air dan udara agar mampu menopang tegaknya tanaman, mampu memberikan unsur-unsur hara, air dan sirkulasi udara bagi tumbuhan. Secara rasio pendekatan persentasenya adalah 45 % mineral, 25 % air, 25 % udara dan 5 % bahan organik. Fraksi pasir, debu dan liat juga secara ideal dengan persentase yang relatif seimbang

Bahan Bacaan :

Agus, Cahyono. 2003. Ilmu Tanah Hutan. UGM, Jogjakarta.

Cepris, 2013. Agroekologis, Perbedaan Ekosistem Pertanian dan Ekosistem Hutan Alam. http://agroekologis.blogspot.co.id/2013/07/perbedaan-ekosistem-pertanian-dan.html. Diakses 22 April 2016.

No comments: