Tuesday, May 17, 2016

Peningkatan Kualitas Tegakan

Asgar Taiyeb

Laboratorium Ilmu-Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Palu

1. Pertumbuhan dan Riap

Pada tulisan kali ini membahas mengenai pertumbuhan dan riap. Pertumbuhan (growth) merupakan tulang punggung ilmu pengelolaan hutan, yang bertujuan untuk menghasilkan kayu. Dalam buku-buku teks kehutanan, biasanya dibedakan pengertian pertumbuhan dengan riap. Pertumbuhan ditetapkan sebagai terminologi yang bersifat umum, sedangkan riap lebih spesifik. Biasanya riap dipakai untuk pertambahan volume pohon atau tegakan persatuan waktu tertentu. Riap juga sering dipakai untuk menyatakan pertambahan nilai tegakan. Kadang-kadang riap juga dipakai untuk menyatakan pertambahan diameter atau tinggi pohon, setiap tahun (Handbook of Indonesian Forestry, 2005:14).

Riap dan pertumbuhan hubungannya dengan aspek teknis meliputi silvikultur dan pengukuran. Riap dalam bidang kehutanan sangatlah penting, dapat dianalogkan dengan darah pada tubuh manusia. Dengan adanya perlakuan riap, dapat berubah kearah yang positif (naik). Ini berarti riap tidak statis, dinamis seiring dengan pengaruh-pengaruh lingkungan dan perlakuan silvikultur terhadap tegakan. Dengan perlakuan yang direncanakan sebagai sebagai hasil penelitian maka perubahan riap dapat direkayasa kearah yang positif, sehingga kelestariannya dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan.

Pemilihan jarak tanam berdasarkan tujuan pengusahaan apakah untuk kayu pertukangan, kayu serat bukan pertukangan, berdasarkan kualitas bibit, Sedangkan pemeliharaan terdiri dari pemeliharaan awal dan pemeliharaan lanjutan. Pemeliharaan tahap awal (umumnya umur 1 tahun) difokuskan bagaimana tanaman menghadapi persaingan dengan gulma, sedangkan tahap pemeliharaan berikutnya bagaimana meningkatkan riap dengan penjarangan (Thinning-Inggris, Durchforstung-Jerman, Kanbatsu-Jepang), apakah pada sebagian atau semua tegakan. Penjarangan juga harus mempertimbangkan: tujuan pengusahaan (kayu serat, pertukangan), tenaga dan biaya apakah mahal karena harus menguntungkan dan bagaimana memilih cara penjarangan yang tepat dengan waktu yang tepat.

Untuk meningkatkan kualitas lahan demi peningkatan kualitas hutan tanaman, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu (a) pembersihan lahan (land clearing), ada yang dibakar dan ada yang tidak dibakar. Dalam pembersihan lahan terdapat limbah yaitu pohon-pohon yang diameternya < 20 cm; (b) lubang tanam; (c) jarak tanam; (d) suhu, baik suhu optimum, suhu minimum, maupun suhu maksimum. Sebagai contoh pohon berdaun jarum pada suhu 0 0C masih bisa tumbuh karena tidak menggugurkan daun (Ruchaemi, 2005).

Jika riap meningkat, maka kualitas meningkat, sehingga harga jual juga meningkat. Setiap pohon membutuhkan ruang tumbuh untuk kelayakan hidupnya. Salah-satu tindakan silvikultur adalah melakukan penjarangan. Kegiatan silvikultur mulai dari kegiatan penanaman di hutan tanaman, sampai penjarangan.

Hasil penelitian Abdurrachman (2012) pada hutan alam bekas tebangan di Labanan Berau Kalimantan Timur menunjukkan bahwa riap diameter rataan tahunan 0,57-0,84 cm/tahun pada dipterocarpaceae dan 0,29-0,36 cm/tahun pada non dipterocarpaceae. Sebagai rincian, riap diameter untuk dipterocarpaceae adalah 0,53 cm/thn (kontrol), 0,84 cm/tahun (pembebasan) dan 0,57 cm/tahun (penjarangan selektif), sedangkan non dipterocarpaceae berturut-turut 0,29, 0,36 dan 0,33 cm/tahun

Dalam suatu tegakan ada beberapa indikator, namun indikator ini tidak mesti semua adalah dalam tegakan. Indikator tersebut meliputi persaingan tajuk, distribusi diameter dan kerampingan pohon.

Persaingan tajuk, dalam suatu tegakan terdapat sekumpulan pohon dari berbagai kelas diameter dan kelas tinggi yang saling bersaing dalam pertumbuhannya. Pohon-pohon tersebut dapat dibagi dalam kelas sosial. Klas sosial yang umum dipakai adalah klasifikasi pohon menurut Kraf berdasarkan kedudukan tajuk, membagi pohon menjadi 5 klas:

pre dominan. Dominan Co-dominan Tertekan Sangat tertekan.

Distribusi diameter (pada hutan tanaman).Distribusi diameter pada hutan tanaman dengan umur sama, waktu tanam sama, dan jenis sama, kelihatan dari penampakan hampir homogen, tetapi sesungguhnya distribusi diameter tidaklah sama, bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi diameter sangat bervariasi dari pohon satu dengan pohon lain sebagai penyusun tegakan, sehingga penjarangan diperlukan.

Persentase tajuk. Persentase tajuk adalah perbandingan antara panjang tajuk (PT) dengan tinggi (h). Semakin besar tajuk, pertumbuhan semakin besar, karena terdapat dapur untuk asimilasi. Jika persentase tajuk kecil, maka pertumbuhan semakin menurun, Oleh karena itu perlu memberikan ruang tumbuh dengan penjarangan supaya kualitas tegakan meningkat.

Kerampingan pohon/kekekaran pohon (slenderness ratio, schlankheit grad). Semakin besar tinggi dibandingkan diameter, semakin ramping.

h/d a. h/d <80 hijau, aman b. h/d 80 -100 ; peringatan (warning), kurus perlu suplemen c. h/d > 100, harus ada suplemen. Tidak ada suplemen dengan pupuk,

Suplemen ini bertujuan untuk memberikan ruang tumbuh yang lebih leluasa, melalui penjarangan, untuk meningkatkan kualitas tegakan.h/d belum banyak dimanfaatkan, karena adopsi dari 4 musim di luar negeri.Musim dingin, tajuk ditutupi oleh salju, kalau terlalu kurus bisa patah, pohon (penyusun tegakan) yang diterpa angin salju bisa tumbuh miring sehingga kerapatan pohon disebut juga kestabilan pohon. Jenis kecepatan tumbuh, apakah tumbuh cepat (fast growing) atau tumbuh lambat (slow growing).Satu atau lebih dari keempathal tersebut di atas secara opsional sudah mewakili.

2. Metode Penjarangan

Perhitungan hasil yang diperoleh ekonomis atau tidak. Di HTI, beda dengan jati.Pre Comercial Thinning. Penjarangan yang tidak komersil diharapkan dapat menghasilkan uang untuk menutupi biaya. Pre commercial thinning tidak meningkatkan riap. pohon-pohon berdiamater besar, lurus atau pohon-pohon cantik.Karena tidak dimanfaatkan oleh perusahaan?

Manfaat peneresan dan peracunan > penebangan langsung dalam penjarangan. Sebetulnya dari hasil kayu, penjarangan (penebangan penjarangan) tetapi hasil kayu tidak dimanfaatkan. Di Jawa semua tanaman (termasuk kayu penjarangan) diambil.

N akhir : 1. Tabel hasil 2. SDI. 3. Penutupan

Target yang paling mudah adalah menentukan sekian pohon perhektar. Diameter adalah target akhir daur. Diameter 40, 50,atau 60. Berapa pohon perha pada akhir daur.

1.Tabel Hasil : umur, bonita, peninggi, tegakan tinggal, berkaitan dgn CAI dan MAI. 2.SDI (Standar Density Indeks) 1110 - 400, riap meningkat setelah penjarangan. 600 – 4000, umumnya tanaman mempunyai kerapatan (density) 0,7 – 0,8.

Kerapatan menggambarkan besarnya ruang yang di tempati pohon-pohon di dalam tegakan dan dinyatakan sebagai ruang yang ditempati oleh batang. Karena itu jumlah pohon persatuan luas lahan (biasanya hektare), atau N/ha menggambarkan kerapatan dari suatu tegakan. Parameter lain kerapatan tegakan adalah LBDS (luas bidang dasar) per hektare (Nurkin, B, 2012).

Indikator dari kerapatan ada 3 yaitu : (1) N/ha, (2) G/ha, (3) Volume/ha.

Indikator kerapatan yang paling mudah adalah jumlah pohon, N/ha, kemudian Luas bidang dasar, G/ha, sedangkan yang paling sulit adalah Volume/ha.Kelebihan N/ha adalah paling mudah dan paling sederhana dibanding G/ha dan Volume/ha, sedangkan kelemahan dibanding G/ha adalah jumlah pohon tidak bisa meningkat.Misalnya Acacia mangium umur 3 tahun N/ha =1.000

Terdapat dua luas bidang dasar, G/ha, yaitu G aktual dan G normal. BaikN/ha dan G/hadapat mewakili kerapatan, tetapi kelebihan G/ha dibanding N/ha adalah lebih obyektif dibanding N/ha. Mengapa demikian, karena lebih obyektif daripada N/ha,karena luas bidang dasar bisa meningkatsedangkan jumlah pohon tidak pada hutan tanaman.G/ha dilakukan dengan cara pemupukan. Sementara itu, kelemahan G/ha lebih rumit daripada N/ha.

Kasus, bagaimana menentukan diameter apabila setinggi dada suatu pohon yang banyak tumbuh lebih dari satu secara berumpun, maka dihitung 1 pohon.

Luas bidang dasar secara logika tidak pernah menurun, minimal tetap. Contoh, jika suatu pengukuran leda pengukuran waktu ke-1 = 18,4 m2, pengukuran waktu ke-2 = 18,1 m2, maka dianggap pengukuran kedua sama dengan pengukuran pertama = 18,4 m2 bukan 18,1 m2.

Menurut Assmann yang dikenal sebagai bapak growth and yield, bidang dasar dibagi menjadi 3 yaitu : (1) bidang dasar maksimum (2) bidang dasar optimum, dan (3) bidang dasar kritis.

Pertama,bidang dasar maksimum adalah bidang dasar yang dicapai suatu areal tertentu didalamnya belum pernah ada perlakuan, kecuali ada kematian secara alami (natural mortality). Misalnya,1 ha hutan tanaman leda (E. deglupta) umur 2 tahun dengan jarak tanam 3x3 m, maka bidang dasar 6,2 m2/ha, inilah yang disebut bidang dasar maksimum.Sebagai perbandingan di hutan alam bidang dasar maksimum dapat mencapai 35 m2/ha.

Kedua, bidang dasar optimum di hutan alami yang virgin diasumsikan bahwa riap = 0. Kalaupun hutan itu tidak dikelola karena pohon yang besar tumbang, kehilangan riap dari pohon besar diimbangi dengan tumbuhnya semai yang kecil sehingga sering disebut riap nol. Tegakan yang riapnya nol termasuk tegakan yang riapnya masih lebih besardibandingkan dengan terjadinya miskin riap pada hutan tanaman yang dibiarkan.

Segala daya upaya untuk meningkatkan riap untuk meningkatkan pendapatan dengan penjarangan, dapat di lihat hubungannya, sebagai berikut: Pendapatan ß Harga kayu ß riap ß pengelolaan hutan ß kualitas tegakan ß keluasan ruang tumbuh ß Penjarangan.

Pendapatan dipengaruhi oleh harga kayu, harga kayu dipengaruhi oleh riap, riap dipengaruhi oleh pengelolaan hutan, pengelolaan hutan dipengaruhi oleh kualitas tegakan, kualitas tegakan dipengaruhi oleh keluasaan ruang tumbuh, dan keluasan ruang tumbuh ditentukan oleh penjarangan.

Segala upaya pengelolaan hutan dimaksudkan untuk meningkatkan riap.Di hutan produksi, riapnya dapat ditingkatkan dengan peningkatan volume kayu. Sedangkan peningkatan riap di hutan lindungdapat dilakukan dengan peningkatan fungsi lindung melalui peningkatan fungsi tata air. Karena secara kualitas riap diberbagai fungsi hutan bermacam-macam upaya. Dengan adanya SPAS, pengamatan terhadap tingkat kekeruhan. Semakin tinggi tingkat kekeruhan menunjukkan semakin besar terjadinya penurunan riap dihutan lindung.

Sementara itu, penurunan riap dihutan konservasi ditandai dengan penurunan keanekaragam (biodiversity).Kalau di hutan tanaman dibiarkan, maka akan terjadi miskin riap. Upaya yang dilakukan adalah bagaimana mengelola volume kayu untuk tidak miskin riap, maka perlu diberikan ruang tumbuh dengan penjarangan.Bidang dasar optimum adalah bidang dasar suatu tegakan yang menghasilkan suatu riap yang maksimal.Bidang dasar optimum diukur dengan bonita. Bonita mempengaruhi pertumbuhan, karena bonita berhubungan dengan peninggi dan umur. Kalau umur dan peninggi sama, maka secara ilmu pertumbuhan adalah sama. Kalau mau bandingkan hasil tersebut, ukur bonita.

Bidang dasar kritis adalah bidang dasar yang menghasilkan riap < 15 % dari bidang dasar optimum, misalnya bidang dasar optimum 2,6 maka turun 5 % menjadi bidang dasar kritis 2,47 m2/ha. Tegakan yang berdaun lebar (erche), daunnya gugur selama musim gugur dan musim dingin. Tegakan ini berumur sampai 200 tahun dengan bidang dasar mencapai 27 m2/ha.

Sementara itu, tegakan yang berdaun jarum (fii), daunnya tidak gugur setelah mengalamimusim gugur dan musim dingin, berumur hanya 100 tahun dengan bidang dasar 48 m2/ha. Jadi, disimpulkan bahwa bidang dasar maksimum adalah bidang dasar yang mungkin dihasilkan oleh suatu tegakan dari pohon-pohon hidup sejenis, sedangkan bidang dasar optimum yang menghasilkan paling tinggi. Sementara itu, bidang dasar kritis 95 % menghasilkan riap (< 5 % dari optimum). Pada hutan alam dapat digunakan untuk menentukan elastisitisitas(1x3)/10.000=3.300 ha dari 50.000 ha

Indikator kerapatan yang ketiga adalah volume/ha. Volume /ha sulit dilakukan. Suatu pertanyaan mengemuka, mengapa pohon-pohon dihutan yang mengalami empat musim lebih lambat mati dibandingkan dengan di hutan tropis. Jawabnya, karena dalam 1 tahun dihutan yang mengalami 4 musim hanya 3 bulan berfotosintesis. Waktu berfotosintesis yang lebih singkat dibanding di daerah tropis bertalian erat dengan suhu, baik suhu optimum, maksimum danan minimum yang lebih singkat mendukung pertumbuhan pohon sehingga peningkatan riap lambat, dimana pohon-pohon memiliki kesiapan untuk menyesuaikan diri dari setiap pergantian musim selama masa dorman untuk menunggu fotosintesis lagi.

Sementara itu. Pohon pohon dihutan tropis sampai 12 bulan berfotosintesis sehingga memacu riap lebih cepat sampai akhirnya daurnya lebih cepat. Adapun tindakan pemacuan riap untuk mempertahankan kualitas makanan bagi pohon adalah pemupukanatau pengapuran. Baik pemupukan yang ditujukan untuk tanah kurang subur maupun pengapuran untuk tanah kondisi masam dimaksudkan agar kesuburan tanah meningkat dan kemasaman tanah menurun sehingga meningkatkan pertumbuhan atau memacu riap.

3. Peningkatan Kualitas Tegakan Hutan Tanaman

Ada dua cara untuk meningkatkan kualitas tegakan hutan tanaman yaitu peningkatan nilai dan peningkatan kuantitas.Peningkatan kualitas dengan cara peningkatan nilai dan kuantitas dilakukan dengan mempertahankan sumber “hutan”.

Apa perbedaan pertanian dan kehutanan.Pertanian,areal yang sedikit, produktivitasnya banyak, 1 ha dapat ditingkatkan produksi dari 3 ton menjadi 8-10 ton/ha. Sedangkan tanaman kehutanan, khususnya di HTI untuk 1 ha Sengon umur 8 tahun rataan mencapai 150 m2/ha. Jika 150 m3/ha x harga kayu Rp.300.000 x 1m3 = Rp 45 juta/ha. Dengan luas lahan kehutanan berkurang, masih diperoleh 150 m3/ha. Kuantitas yang dicapai bukan karena peningkatan lahan hutan, tetapi produktivitas berkurang, sehingga kualitas juga akan berkurang.

Spidel memperkenalkan istilah kelestarian statis dan kelestarian dimanis. Kelestarian statis dilihat dari luas hutan, sedangkan kelestarian dinamis dilihat dari produksi yang semakin menurun, Adakah kaitannya dengan penurunan riap?

Kelestarian statis adalah melestarikan suatu keadaan :a) areal hutan merupakan kapital (modal) mempunyai nilai uang dan yang tidak dapat dinilai dengan uang, b) plasma nutfah, c) tegakan (stand), d) nilai tegakan, e) modal, f) tenaga kerja.

Sementara itu, kelestarian dinamis adalah melestarikan suatu produktivitas.a. riap (kelestarian hasil). Ibarat darah bagi manusia (4 ltr dalam tubuh), b. Hasil kayu, meliputi massa dan kualitas dari tegakan hutan tiap tanaman mengecil.Bukti : Banyak HPH tutup karena produksi tidak lestari. Ada pabrik plywood yang tidak punya HPH, Di mana diambil bahan baku kayu? Mungkin dari kayu gelondongan, secara legal atau illegal, c. Hasil ekonomi, d. Rentabilitat, e. Produktivitas Kerja, f. Infra struktur : - sumberdaya, -hutan lindung. sumber air semakin berkurang. Wisata di Jepang, musim melihat bunga sakura sekali setahun, disebut Hanami, kenapa kalau terbatas, terasa nikmat?, dan g. fungsi lain.

Persyaratan kelestarian :

1. Luas pengusahaan minimal.

Luas pengusahaan minimal tergantung dari jenis, kesuburan, kelas hasil daur. Di Eropa : 50 – 150 ha, HTI, kebun ? H.alam ? HTI-trans 4.000 ha, luas efektif x 8 th = 5.000 ha = tidak ekonomis, yang ekonomis 15.000 ha. Luas lahan petani rata-rata 0,25-5 ha, tidak ekonomis, yang ekonomis 10 ha.Luas penggunaan minimal dapat dipengaruhi oleh riap. Riap yang makin tinggi, daur makin pendek, maka luas akan menurun. Bila luas penggunaan minimal tidak layak untuk lestari, maka dapat digabung 5.000-6.000 ha untuk pabrik CPO (pabrik kelapa sawit), maka berlaku kebun inti 2.000 ha, kebun plasma 3.000- 4.000 ha.

2. Kapasitas minimal

Kapasitas minimal mempunyai target yaitu batang harus lurus, mempunyai tinggi dan diameter tertentu supaya laku dipasar. Ketenagaan (karyawan, teknik, dan manager) memiliki persyaratan tertentu agar tugas dapat berjalan dengan baik, Peralatan yang diperlukan, alat transportasi dan jumlah peralatan yang minimal. Contoh untuk HTI seluas 3.000 ha minimal memiliki seorang polisi khusus (polsus).

3. Usaha reforestation

Tanah kosong bekas pembalakan harus segera direhabilitasi dengan dana reboisasi adalah syarat utama tercapainya kelestarian luas dan hasil. Terutama dihutan tropis di mana tanahnya labil, dengan jenis Latosol di Kalimantan Timur merupakan tanah miskin hara karena mudah tercuci. Pada daerah yang subur jenis yang cepat tumbuh justru harus ditanam. Sebagai contoh kasus dalam pelaksanaan pengayaan/rehabilitasi yang diatur dalam TPTI......Perlu dilengkapi SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan).

4. Kepastian produksi.

Kontinuitas produksi dan kelestarian infrasturktur akan terganggu bila kapasitas produksi tidak tercapai. Usaha melalui: pemilihan jenis yang sesuai atau berdasarkan bonita, penataan kawasan, dan perlakuan silvikultur.

5. Mempertahankan kemampuan produktivitas lahan.

Kontuinuitas produktivitas hutan dipertahankan. Faktor terpenting adalah usaha melalui pemilihan jenis, misalnya dengan kembali menanam jenis lokal, perlakuan silvikultur, perbaikan tanah, pemupukan dan reboisasi.

Keseimbangan panen dan riap. Misalnya di hutan alam, ditanam 1.000 pohon maka dipanen juga 1.000 pohon. Sementara itu, di hutan tanaman, riap saja yang diambil. Namun, pada keadaan seimbang antara panen dan riap jarang tercapai atau memang tidak pernah tercapai.

6. Likuidasi yang terukur.

Semua biaya untuk tujuan kelestarian harus pasti, artinya pengusahaan hutan harus mempunyai derajat/target yang akan dicapai, misalnya biaya satuan perhektar baik untuk hutan tanaman (HTI), maupun hutan alam, dsb. Misalnya luas 3.000 x 50 = 150.000 m3/tahun.AAC luas dan AAC volum.

Tapak adalah gugus yang terdiri atas berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan hutan. Tapak merupakan suatu abstraksi yg merupakan sintesis atau gabungan berbagai faktor lingkungan yang secara komprehensif sukar diukur. Ada 3 cara mengevaluasi kualitas tapak. (1) pendekatan langsung,(2) pendekatan tidak langsung, pendekatan dalam bentuk ”produksi hutan” aktual dari vegetasi yg bersangkutan.

Pendekatan langsung, yaitu dalam bentuk kualitas dan kuantitas dari berbagai faktor tapak seperti cahaya dan suhu yang mempengaruh pertumbuhan. Pendekatan tidak langsung, yaitu dalam bentuk indeks yang menggambarkan kualitas atau kuantitas dari faktor tapak yang mudah diukur.

Pendekatan dalam bentuk produksi hutan aktual dari vegetasi yang bersangkutan, misalnya pertumbuhan tinggi dan volume.

Penentuan tapak di hutan tanaman. Pada hutan tanaman tapak biasanya ditentukan dari besarnya peninggi.

1) Peninggi mempunyai berbagai definisi. Peninggi adalah tinggi rataan 200 pohon tertinggi per ha, 2) Peninggi adalah tinggi rataan 100 pohon tertinggi per ha. Definisi ini digunakan untuk hutan tanaman jati di jawa, dan 3) Tinggi Weise adalah tinggi rataan dari 20 % pohon berdiameter terbesar.

Untuk hutan tanaman di Kalimantan Timur, peninggi tidak digunakan sebagai indikator riap untuk fast growing.

N/ha (jumlah pohon per ha), BA/ha (Basal area per ha), rasio diameter(perbandingan antara diameter pada ketinggian 1,3 m dengan diameter pada ketinggian 0,5 m).

Penentuan Kualitas Tapak di Hutan Alam

Untuk hutan alam, penerapan konsep tapak suatu wikayah menyebabkan bisa lebih dari satu kualitas tapak.

1) pengklasifikasian berdasarkan residual suatu model acuan, 2) pengklasifikasian berdasarkan kurva tinggi suatu spesies. 3) pengklasifikasian berdasarkan informasi riap terdahulu.

Tujuan akhir penentuan kualitas tapak adalah untuk menentukan kondisi riap. Teknik ini butuh data Petak Ukur Permanen (PUP). Sumber : Abdurachman, 2012. Riap Diameter Hutan Bekas Tebangan Setelah 20 Tahun Perlakuan Perbaikan Tegakan Tinggal di Labanan Berau Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Dipterocarpa. Volume 6 No.2 Desember 2012.

Evaluasi Kesesuaian Lahan

1. Definisi dan Dasar Klasifikasi

Lahan (land) adalah bagian dari bentang alam, yang mencakup pengertian lingkungan fisik, termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi dan keadaan vegetasi. FAO(1995) merumuskan delapan fungsi lahan yaitu:

  1. merupakan penopang beragam sistem kehidupan melalui produksi makanan, makanan hewan, serat, bahan bakar, kayu dan bahan kebutuhan hidup manusia yang lain, baik secara langsung maupun melalui peternakan, pertambakan dan perikanan;
  2. penopang keanekaragaman hayati terestrial, yaitu dengan menyediakan habitat (tempat hidup) dan menyimpan benih/gen tumbuhan, jasad renik dan binatang, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah;
  3. mengatur penyimpanan dan aliran sumberdaya air, tanah dan air permukaan, dan memengaruhi kualitasnya;
  4. bertindak sebagai suatu sumber dan tempat berkumpulnya gas rumah kaca dan sebagai penjaga keseimbangan energi global;
  5. merupakan gudang bagi bahan mentah dan bahan mineral;
  6. mempertahankan, menyangga dan mencegah resiko bencana alam;
  7. menyediakan ruang untuk tempat tinggal manusia, tanaman, industri dan aktivitas sosial seperti olahraga dan rekreasi, serta menghubungkan transportasi/pengangkutan orang, masukan dan hasil dan untuk bergeraknya hewan dan tumbuhan antar ekosistem; dan
  8. menyimpan dan melindungi bukti sejarah budaya umat manusia dan sumber informasi penggunaan lahan pada masa lampau dan kondisi-kondisi iklim masa lampau.

Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaan (performance) lahan jika digunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survai dan studi bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim, dan aspek lahan lainnya agar dapat mengidentifikasi dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976).

Menurut Sitorus (1985), fungsi evaluasi lahan adalah memberikan pengertian hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang diharapkan berhasil. Dengan demikian, manfaat yang mendasar dari evaluasi lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan. Hal ini penting apabila perubahan penggunaan lahan tersebut akan menyebabkan perubahan besar terhadap lingkungannya.

Evaluasi kesesuaian lahan adalah suatu upaya mencocokkan sebidang tanah bagi penggunaan tertentu atau merupakan proses penilaian dan pengelompokan satuan-satuan lahan berdasarkan kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu (Young, 1980), sedangkan van Goor (1981) dalam Sitorus (1985) mengemukakan, bahwa evaluasi kesesuaian lahan, khususnya untuk kehutanan adalah pendekatan sistematik pada proses mencocokkan (fitting) kegiatan kehutanan ke dalam perencanaan penggunaan lahan di suatu wilayah tertentu.

Penetapan kualitas lahan untuk tanaman HTI selayaknya dilakukan sebelum penanaman, karena sangat riskan untuk menanam tanaman HTI yang kualitas lahannya ditetapkan berdasarkan perkiraan sebab akan membuka peluang terjadinya kegagalan pertumbuhan yang berarti juga kerugian ekonomi bagi pengelolanya. Berdasarkan kenyataan ini, maka Poerwowidodo (1991) menyatakan bahwa proses penelitian kesesuaian lahan untuk tanaman pertanian perlu ditiru untuk penilaian kesesuaian lahan bagi tanaman kehutanan, karena keadaannya memang menuntut demikian.

Pembangunan hutan tanaman dengan konsep HTI adalah identik dengan suatu kegiatan bercocok tanam tanaman pertanian.

2. Struktur Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengaturan satuan-satuan lahan ke dalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat lahan atau kesesuaiannya untuk berbagai penggunaan. Klasifikasi kesesuaian lahan ada yang bersifat kualitatif dan ada pula yang bersifat kuantitatif. Klasifikasi yang bersifat kualitatif umumnya didasarkan atas sifat fisik lahan dengan hanya sedikit didukung oleh keterangan tentang faktor ekonomi, sedangkan klasifikasi kesesuaian lahan kuantitatif mencakup masukan yang banyak tentang ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada prinsipnya, evaluasi yang dilakukan sesuai dengan kondisi fisik lahan, kondisi sosial dan ekonomi daerah yang dipelajari. Faktor sosial ekonomi antara lain letak geografis dalam kaitannya dengan lokasi pemukiman, transportasi dan aktivitas manusia lainnya. Selain itu, faktor lingkungan perlu dipertimbangkan agar jangan sampai terjadi kerusakan lingkungan di kemudian hari meskipun dalam jangka pendek usaha tersebut sangat menguntungkan (Sitorus, 1985).

Menurut penelitian penulis blog ini (Asgar Taiyeb, 2007) yang dikutip dari Dent dan Young (1981), evaluasi lahan secara kualitatif adalah cara menilai lahan dalam mencapai pilihan penggunaan secara spesifik yang dijelaskan dengan cara kualitatif. Hasilnya hanya berupa kelas kesesuaian lahan secara fisik seperti kesesuaian tinggi, sedang dan tidak sesuai, sedangkan evaluasi lahan secara kuantitatif adalah penetapan kesesuaian lahan secara kuantitatif dari produksi atau keuntungan yang diharapkan dari penggunaan lahan tersebut seperti produksi tanaman, ternak, kayu dan rekreasi.

Struktur dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan yang dirumuskan oleh FAO (1976) terdiri atas 4 kategori yang merupakan tingkat generalisasi yang bersifat menurun yaitu:

  1. Ordo kesesuaian lahan: menunjukkan jenis kesesuaian atau keadaan secara umum.
  2. Kelas kesesuaian lahan: menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo.
  3. Sub kelas kesesuaian lahan: menunjukkan jenis tingkat pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan di dalam kelas.
  4. Satuan kesesuaian lahan: menunjukkan perbedaan kecil yang diperlukan dalam pengelolaan di dalam sub kelas.

Ordo kesesuaian lahan terdiri atas:

  1. Ordo S: Sesuai. Lahan yang termasuk dalam ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan bagi penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. Keuntungan yang diharapkan dari hasil pemanfaatan lahan ini akan melebihi masukan yang diberikan.
  2. Ordo N: Tidak sesuai. Lahan yang termasuk ordo ini mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah suatu penggunaan secara lestari.

Kelas kesesuaian lahan terdiri atas:

  1. Kelas S1: Sangat sesuai. Lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk penggunaan secara lestari atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksinya serta tidak akan menaikkan masukan dari yang biasa diberikan.
  2. Kelas S2: Cukup sesuai. Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas agak berat untuk suatu penggunaan lestari. Pembatas ini akan mengurangi produktivitas dan keuntungan dan meningkatkan masukan yang diberikan.
  3. Kelas S3: Agak sesuai. Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang sangat berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan perlu menaikkan masukan yang diperlukan.
  4. Kelas N1: Tidak sesuai pada saat ini. Lahan mempunyai pembatas yang cukup berat tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan biaya yang rasional.
  5. Kelas N2: Tidak sesuai permanen. Lahan mempunyai pembatas yang sangat berat sehingga tidak mungkin untuk digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari.

Kesesuaian lahan pada tingkat sub kelas mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam suatu kelas. Tiap kelas, kecuali kelas S1 dapat dibagi menjadi satu atau lebih sub kelas tergantung pada jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol-simbol huruf kecil yang diletakkan setelah simbol kelas. Sebagai contoh, kelas S2 yang mempunyai faktor pembatas kedalaman efektif (e) akan menurunkan sub kelas S2e. Biasanya hanya ada suatu simbol pembatas di dalam setiap sub kelas, akan tetapi bisa juga satu sub kelas mempunyai dua atau tiga simbol pembatas, dengan catatan simbol jenis pembatas yang paling dominan ditulis urutan pertama. Sebagai contoh dalam sub kelas S2en, maka pembatas kedalaman efektif (e) adalah pembatas yang dominan dan pembatas ketersediaan hara (n) adalah pembatas kedua.

Kesesuaian lahan pada tingkat satuan merupakan pembagian lebih lanjut dari sub kelas. Semua satuan yang berada dalam satu sub kelas mempunyai tingkat kesesuaian lahan yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis pembatas pada tingkat sub kelas. Simbol kesesuaian lahan pada tingkat satuan dibedakan oleh angka-angka arab yang ditempatkan setelah simbol sub kelas, misalnya S3e-2, S3e-3.

3. Pendekatan Sistem Lahan dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan

Pendekatan sistem lahan (land system approach) atau juga dikenal sebagai survai terpadu (integrated survey) menurut Sitorus (1985), mempunyai arti bahwa semua faktor-faktor fisik lingkungan dipetakan secara simultan. Asal mula dari pendekatan ini bertitik tolak dari penggunaan interpretasi foto udara untuk keperluan pemetaan tingkat tinjau yang cepat. Luas wilayah yang ditempati oleh sistem lahan diperoleh dari pengukuran grid atau titik pada setiap lembar peta skala 1 : 250.000 (Anonim, 1988 dalam Asgar Taiyeb,2007).

Sitorus (1985) menyatakan, bahwa pendekatan sistem lahan merupakan metode yang didasarkan atas interpretasi foto udara dan areal-areal dengan pola yang berulang dari topografi, tanah, vegetasi dipetakan sebagai satuan atau individu sistem lahan. Konsep utama yang digunakan dalam pendekatan sistem lahan ini adalah bahwa di areal-areal tertentu terdapat faktor-faktor lingkungan (topografi, tanah, vegetasi, geologi, geomorfologi dan iklim) yang akan saling berhubungan satu sama lain dan akan menghasilkan pola yang jelas pada potret udara. Pendekatan ini disebut sebagai survai terpadu karena metode ini tergantung pada pengidentifikasian areal-areal yang jelas sebagai hasil integrasi dari variabel lingkungan.

Menurut Sitorus (1985), keuntungan utama dari pendekatan sistem lahan adalah cepat, dan menggunakan integrasi berbagai faktor lingkungan yang berbeda. Manfaat terbesar diperoleh pada evaluasi tingkat tinjau, yang mana dengan relatif sedikit usaha, akan dihasilkan kenaikan informasi yang cukup berharga dibandingkan dengan keadaan sebelumnya di mana informasi tersebut masih sedikit.

Pembagian wilayah pada sistem lahan didasarkan atas kesamaan kondisinya dalam hal bentuk fisiografi (lembah, dataran, teras, perbukitan, pegunungan), kelas kemiringan lapang, amplitudo relief, batuan induk pembentuk tanah, tekstur tanah dan curah hujan tahunan. Sistem lahan yang diperoleh di suatu tempat akan mempunyai ciri-ciri fisik yang sama dengan sistem lahan yang berada di tempat lain (Alhamdulillah, 2003 dalam Asgar Taiyeb,2007).

Mahl (1995) dan Syam dkk. (1995) dalam Asgar Taiyeb (2007) melaporkan, bahwa sistem lahan dapat digunakan sebagai sistem informasi kualitas lahan serta dapat digunakan untuk evaluasi penggunaan lahan. Pengelompokan sistem lahan bertumpu pada informasi litologi dan landform (posisi dan bentuk) yang sama pada masing-masing satuan fisiografi dan dibagi menjadi beberapa satuan lahan yang lebih kecil. Sistem lahan dipublikasi oleh RePPProt (Regional Physical Planning Programme for Transmigration) pada tahun 1988 untuk Sulawesi berdasarkan kesamaan landform dan unsur litologi untuk daerah lowland, sedangkan untuk upland berdasarkan kesamaan landform dan batuan. Informasi litologi didapat dari peta geologi, sedangkan landform dari hasil informasi foto udara dan citra radar. Pendekatan sistem lahan dapat terdiri atas satu jenis tanah atau beberapa jenis tanah. Selanjutnya, pengelompokan jenis tanah dan zona agroklimat pada masing-masing sistem lahan dibagi menjadi satuan-satuan lahan yang lebih kecil yang disebut kompleks lahan yang didasarkan atas kesamaan jenis tanah dan zona agroklimat.

Kota Palu, Sulawesi Tengah terbagi menjadi 8 sistem lahan, yaitu: Bukit Balang (BBG), Bukit Pandan (BPD), Palu (PLU), Sidondo (SSO), Salo Marana (SMA), Salo Puneki (SPI), Salo Saluwan (SSU) dan Telawi (TWI) (Anonim, 1988 dalam Asgar Taiyeb,2007). Kedelapan nama sistem lahan yang serupa telah diteliti oleh Abdullah (2005) dalam Asgar Taiyeb (2007) di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Sistem lahan di Kota Palu telah disusun oleh Christian dan Stewart pada tahun 1968 dalam Anonim (1988 dalam Asgar Taiyeb,2007). Nama sistem lahan terkait dengan lokasi di mana sistem itu mula-mula dinyatakan, atau suatu nama yang khas, misalnya kata “Salo” menunjukkan arti sungai di Sulawesi, sedangkan kata ”Saluwan” pada Sistem Lahan Salo Saluwan adalah nama salah satu etnis/suku bangsa di Sulawesi Tengah. Asal kata untuk sistem lahan lainnya, seperti Sistem Lahan Palu diambil dari nama ibukota propinsi, sedangkan Sidondo adalah nama salah satu desa di Kecamatan Biromaru, Kabupaten Donggala.

Kedelapan nama sistem lahan Kota Palu merupakan bagian dari 90 nama sistem lahan Sulawesi, namun dua nama diantaranya yakni Sistem Lahan Bukit Pandan dan Telawi ternyata sama dengan 2 nama dari 42 sistem lahan di Kalimantan Timur yang dipublikasikan RePPProT sejak tahun 1987 (Ruhiyat, 2004 dalam Asgar Taiyeb,2007) .

Bahan Bacaan

FAO. 1995. Planning for Sustainable Use of Land Resources; Towards a New Approach. FAO Land and Water Bulletin 2, Rome. 60 h.

FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soil Bill No. 32 Rome; and ILRI Publication No 22, Wageningen.

Poerwowidodo. 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman di Indonesia. Rajawali Press, Jakarta. 246 h.

Sitorus S.R.P. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito, Bandung. 186 h.

Asgar Taiyeb. 2007. Kajian Kesesuaian Sistem Lahan Salo Saluwan untuk Pembangunan Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis L.f.) di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Tesis Magister Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 139 h.

Young, A. 1980. Tropical Soils and Soil Survey. Cambridge University Press, London.

Monday, May 16, 2016

Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Rehabilitasi hutan dan lahan menjadi salah satu kebijakan nasional yang sangat relevan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi oleh daerah-daerah terkait dengan semakin terdegradasinya lingkungan, termasuk kerusakan hutan dan lahan. Berkurangnya kualitas lingkungan dapat menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor serta masih terus berlangsungnya intensitas gangguan keamanan hutan termasuk pada hutan produksi, hutan lindung dan Taman Hutan Raya.

Oleh karena itu, diperlukan upaya terus menerus mengingat lahan kritis yang belum tertangani masih cukup luas. Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (Kementerian Kehutanan, 2011).

Sistem rehabilitasi hutan dan lahan merupakan sistem terbuka, yang melibatkan para pihak berkepentingan dengan penggunaan hutan dan lahan. Dengan demikian, rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan oleh masyarakat dengan kekuatan utama dari masyarakat sendiri. Rehabilitasi hutan dan lahan adalah segala upaya yang dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan agar sehingga berfungsi optimal sebagai unsur produksi, perlindungan dan unsur sosial yang menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air Daerah Aliran Sungai (DAS).

Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan harus didasarkan pada rancangan teknis yang disusun sebelum kegiatan dilaksanakan. Adapun jenis kegiatan untuk rehabilitasi hutan dan lahan yang dapat dilaksanakan antara lain (Departemen Kehutanan, 2003) :

  1. Kegiatan reboisasi pada hutan lindung dan hutan produksi;
  2. Kegiatan pemeliharaan pada hutan lindung dan hutan produksi;
  3. Kegiatan pengayaan tanaman pada hutan lindung dan hutan produksi;
  4. Kegiatan rehabilitasi pada hutan mangrove;
  5. Kegiatan penghijauan;
  6. Kegiatan konservasi tanah;
  7. Kegiatan pengembangan hutan rakyat;
  8. Kegiatan pengembangan aneka usaha kehutanan.

Kementerian Kehutanan mengkhususkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (Dinas Kehutanan, 2011) yang meliputi :

  1. Rehabilitasi kawasan konservasi atau kawasan lindung,
  2. Penanaman hutan kota,
  3. Rehabilitasi hutan mangrove, sempadan pantai, rawa, atau gambut,
  4. Pembuatan Kebun Bibit Rakyat (KBR),
  5. Penanaman bibit hasil KBR,
  6. Pembangunan atau renovasi persemaian permanen.

Sasaran areal rehabilitasi adalah pada kawasan kritis. Sasaran kawasannya adalah kawasan hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung dan lahan kritis (Departemen Kehutanan, 2003). Sasaran rehabilitasi hutan dan lahan tahun 2011 melalui Dinas Kehutanan (2011) adalah yang termasuk di dalam sasaran rehabilitasi hutan dan lahan DAS dengan kriteria: 1. Diutamakan termasuk dalam DAS Prioritas; 2. Lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan; 3. Mempunyai tingkat kerawanan banjir, tanah longsor, abrasi, erosi tanah dan kekeringan yang tinggi; 4. Perlindungan danau, bendungan, waduk dan bangunan vital lainnya.

Sementara itu Kartasubrata (1999) menyatakan bahwa sasaran strategi dari rehabilitasi hutan dan lahan adalah : (1). Terciptanya prakondisi masyarakat yang memiliki pengetahuan, kemauan, kemampuaan dan kesadaran yang tinggi; (2). Membuka peluang kesempatan kerja; (3). Terbinanya petugas yang memiliki kemampuan dalam memfasilitasi masyarakat; (4). Berkembangnya peran instansi Pemerintah dalam memfasilitasi penyelenggaraan kegiatan rehablitasi hutan dan lahan di wilayah DAS.

Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengkayaan tanaman atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis dan tidak produktif (Anonim, 1999) dalam (Jamil, 2005).

Zain (1998) mendefinisikan bahwa lahan kritis adalah lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai penyedia dan pengatur tata air maupun sebagai pelindung alam lingkungan. Selain itu, lahan kritis juga dapat diartikan sebagai lahan yang tidak sesuai antara tanah dan penggunaannya akibat kerusakan secara fisik, kimia dan biologis sehingga membahayakan fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi pemukiman. Upaya rehabilitasi konservasi tanah dititik beratkan pada usaha yang dapat merangsang partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kemampuan tanah yang dimilikinya.

Untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan saat ini diperlukan adanya pendekatan yang efektif dan efesien. Setiap program yang dirumuskan diusahakan melalui pendekatan partisipatif dengan melibatkan stakeholder terkait. Melalui pendekatan partisipatif diakui bahwa program rehabilitasi hutan dan lahan di masa lalu terkesan kaku dan saling memberi kesempatan kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan pada kegiatan rehabilitasi. Pola pendekatan ini sudah saatnya ditinggalkan untuk memberi kesempatan sepenuhnya kepada masyarakat setempat, baik sebagai pelaku utama, maka mulai dari tahap perencanaan masyarakat sudah harus dilibatkan dalam mendata kebutuhannya, kemudian pada pembuatan tanaman dan pemeliharaan dilibatkan sebagai pelaku utama pembangunan, dan diakhir proses pembangunan (tahap produksi) masyarakat diperankan sebagai pemanfaat hasil (Departemen Kehutanan, 2003).

Program reboisasi tidak akan berhasil dengan baik tanpa ada kerjasama antara masyarakat (petani) dengan pemerintah (Departemen Kehutanan, 2003). Kesadaran dari kedua pihak mengenai pentingnya kelestarian sumberdaya alam merupakan modal yang utama. Kemudian kesadaran tersebut diwujudkan dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan bagi para pelakunya (Setiawan, 1995) dalam Jamil (2005).

Bahan Bacaan

Departemen Kehutanan, 2003. Buku Panduan Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. Jakarta, Desember 2002.

Dinas Kehutanan, 2011. Rancangan Teknis Pembuatan Tanaman Reboisasi Pengkayaan. Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah, Palu.

Jamil, 2005. Respon Masyarakat Terhadap Kegiatan Reboisasi Pola Hutan Kemasyarakatan. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako, Palu (Tidak Dipublikasikan)

Kartasubrata J., 1999. Program-Program Kehutanan Sosial di Indonesia. Duta Rimba Indonesia Vol.XXII.1-2 hal. 22-33. Jakarta.

Kementerian Kehutanan, 2011. Himpunan Peraturan Perundangan-Undangan Bidang Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial. Kementerian Kehutanan. Jakarta.

Zain, A.S., 1998. Kamus Kehutanan. Rineka Cipta, Jakarta

Kebun Bibit Rakyat

Rehabilitasi hutan dan lahan di lahan kritis, lahan kosong dan lahan tidak produktif merupakan salah satu upaya pemulihan DAS yang kritis. Berdasarkan hasil peninjauan kembali data lahan kritis seperti di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah total luas lahan kritis sebesar 87.961.08 Ha dengan rincian luas lahan sangat kritis dan kritis adalah 25.695,70 Ha, sedangkan luas lahan agak kritis 62.265,38 ha. Lahan kritis seluas 25.695,70 Ha tersebut merupakan sasaran indikatif kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang diprioritaskan segera direhabilitasi (Dinas Kehutanan, 2012).

Melihat sasaran indikatif untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut, tentunya harus dibarengi langkah-langkah yang tepat, dimana salah satunya adalah dengan penyediaan bibit yang berkualitas. Pada tahun 2012 salah satu kegiatan yang bersumber dari APBN adalah pembuatan Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan dan pengelolaannya diserahkan ke masyarakat melalui kelompok tani. KBR dimaksud adalah menyediakan bibit tanaman kayu-kayuan atau tanaman serbaguna (MPTS) dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus mendukung pemulihan fungsi dan daya dukung DAS (Kementerian Kehutanan, 2013).

Keinginan masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan dan jenis tanaman serbaguna dalam berbagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan dibatasi oleh ketidakmampuan mereka untuk memperoleh bibit yang baik. Sehingga masyarakat cenderung menanam tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna dari biji atau benih asalan yang tidak jelas asal usulnya sehingga tanaman tersebut membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk berproduksi dan apabila berproduksi kualitas dan kuantitas hasilnya kurang memuaskan (Kementerian Kehutanan, 2012).

KBR dilaksanakan secara swakelola oleh kelompok masyarakat. Bibit hasil KBR digunakan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis serta kegiatan penghijauan lingkungan. KBR adalah kebun bibit yang dikelola oleh kelompok masyarakat yang menyusun rencana, melaksanakan dan mengawasi pembangunan KBR. Kelompok ini mengelola kebun bibit melalui pembuatan bibit berbagai jenis tanaman hutan atau MPTS yang pembiayaannya bersumber dari dana pemerintah (Kementerian Kehutanan, 2013).

KBR merupakan kegiatan yang dicanangkan oleh Kementerian Kehutanan sejak Tahun 2010 sampai sekarang. Kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan bibit berkualitas dengan berbagai jenis dan jumlah yang besar. Kegiatan pembuatan KBR adalah sarana penyediaan bibit untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan penanaman, baik untuk penghijauan maupun untuk reboisasi.

Menurut Kementerian Kehutanan (2012), kegiatan KBR terdiri dari:

  1. Pembuatan sarana dan prasarana
    1. Papan Nama. Papan nama yang dibuat meliputi:
      1. Papan nama kegiatan, yang mencantumkan nama kegiatan, nama kelompok, lokasi, luas areal, dan tahun pembangunan.
      2. Tanda pengenal bedengan, mencantumkan jenis dan jumlah bibit yang disemaikan serta tanggal penyemaian atau penyapihannya.
    2. Bedengan.
      1. Bedeng/bak tabur dibuat untuk menyemaikan benih generatif (biji) dapat berupa bedengan tanah atau menggunakan kotak kayu atau bak plastik.
      2. Bedeng sapih merupakan tempat untuk memelihara bibit yang berada dalam polybag/kantong/wadah lainnya sampai bibit siap tanam.
    3. Naungan, diperlukan untuk menjaga tanaman muda yang baru disapih ke polybag/kantong/wadah lainnya agar terjaga kelembabannya sehingga tumbuh dengan baik. Naungan dapat dibuat dari daun rumbia atau daun kelapa atau paranet/sharlon net. Untuk jenis tanaman tertentu apabila diperlukan dapat menggunakan sungkup.
    4. Jalan inspeksi, , dibuat di antara bedengan, dengan ukuran yang sesuai untuk memudahkan aktivitas dalam persemaian seperti menyulam, menyiram, mengangkut bibit, dan lain-lain.
    5. Sarana penyiraman, dapat berupa pompa air, bak penampung air, selang air, gembor, ember dan gayung.
  2. Pembuatan bibit
    1. Penyediaan benih/bahan tanaman Jenis tanaman KBR berupa kayu-kayuan dan tanaman serbaguna (MPTS). Untuk jenis tanaman kayuan termasuk jenis tanaman mangrove dan hutan pantai. Untuk jenis tanaman serbaguna termasuk jenis-jenis untuk mendukung Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan nasional (bambu, gaharu, nyamplung, sutera alam, lebih madu, dan rotan). Benih/bahan tanaman untuk membuat bibit dapat berasal dari generatif (biji), maupun vegetatif (stek, cangkok, okulasi, kultur jaringan). Benih generatif jenis kayu-kayuan diutamakan berasal dari sumber benih bersertifikat.
    2. Penyiapan media tabur dan media sapih
      1. Media tabur berupa campuran tanah dan pasir yang steril
      2. Media sapih berupa campuran tanah/sabut kelapa/gambut/sekam, pasir dan pupuk organik (pupuk kandang/kompos/bokasi) dan pupuk anorganik (N, P, K dan lain-lain) yang disikan ke dalam polybag/kantong/wadah lainnya.
  3. Pemeliharaan bibit. Pemeliharaan bibit KBR yang meliputi penyiraman, pemupukan, penyulaman, pembersihan rumput/alang-alang/gulma serta penanggulangan hama dan penyakit dilakukan oleh setiap kelompok masyarakat yang bersangkutan sampai dengan bibit siap/layak ditanam.
  4. Penanaman. Bibit KBR yang sudah siap tanam dapat ditanam pada tahun berjalan di lokasi sebagaimana ditentukan dalam RUKK (Rencana Usulan Kegiatan Kelompok) dan rancangan penanaman.

Bahan Bacaan

Dinas Kehutanan, 2012. Profil Kehutanan Sulawesi Tengah. Dinas Kehutanan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah.

Kementerian Kehutanan, 2012. Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.17/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Kebun Bibit Rakyat. Kementerian Kehutanan, Jakarta.

Kementerian Kehutanan, 2013. Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.12/Menhut-II/2013 tentang Pedoman Penyelengaraan KBR. Kementerian Kehutanan, Jakarta.

Sengon (Paraseriantes falcataria L.

Menurut Martawijaya (1977), sistematika tanaman sengon Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta
Sub divisi:Angiospermae
Kelas :Dicotyledonae
Bangsa :Fabales
Famili :Fabaceae
Sub Famili:Mimosoidae
Marga : Paraserianthes
Jenis : Paraserianthes falcataria

Nama lokal / daerah Sengon (umum), jeunjing (sunda), sengon laut (jawa), sika (maluku), tedehupute (sulawesi), bae, wogan (irian jaya). Ciri umum, kayu teras berwarna hampir putih atau coklat muda pucat (seperti daging) warna kayu gubal umumnya tidak berbeda dengan kayu teras. Teksturnya agak kasar dan merata dengan arah serat lurus, bergelombang lebar atau berpadu. Permukaan kayu agak licin atau licin dan agak mengkilap.Kayu yang masih segar berbau petai, tetapi bau tersebut lambat laun hilang jika kayunya menjadi kering.

Sifat kayu : Kayu sengon termasuk kelas awet IV/V dan kelas IV-V dengan berat jenis 0,33 (0,24-0,49). Kayunya lunak dan mempunyai nilai penyusutan dalam arah radial dan tangensial berturut-turut 2,5 persen dan 5,2 persen (basah sampai kering tanur). Kayunya mudah digergaji, tetapi tidak semudah kayu meranti merah dan dapat dikeringkan dengan cepat tanpa cacat yang berarti. Cacat pengeringan yang lazim adalah kayunya melengkung atau memilin (Martawijaya dan Kartasujana, 1977).

Iskandar dkk (2008) mengatakan bahwa pohon sengon tercatat sebagai salah satu jenis yang pertumbuhannya cepat. Pada umur 1 tahun dapat mencapai tinggi 7 m dan pada umur 12 tahun dapat mencapai tinggi 39 m dengan diameter lebih dari 60 cm dan tinggi cabang 10—30 m. Diameter pohon yang sudah tua dapat mencapai 1 m, bahkan kadang lebih. Batang umumnya tidak berbanir, tumbuh lurus dan silindris. Pohon sengon memiliki kulit licin, berwarna abu-abu atau kehijau-hijauan. Tajuknya berbentuk perisai, jarang dan selalu hijau. Pohon sengon memiliki daun majemuk dengan panjang bisa mencapai 40 cm. Dalam satu tangkai daun terdiri dari 15-25 daun dengan daun berbentuk lonjong.

Alrasyid (1973), menyatakan sengon dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, bahkan pada jenis tanah yang drainasenya jelek atau tanahnya tandus masih dapat tumbuh.Tanaman ini dapat tumbuh baik pada jenis tanah regosol, alluvial, dan latosol. Tanah-tanah tersebut bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan tingkat kemasaman agak masam sampai netral. Pada tanah yang sangat masam pertumbuhannya kerdil.

Tempat tumbuh terbaik untuk sengon berkisar 10—800 m dpl, tetapi dapat juga tumbuh sampai ketinggian 1.600 m dpl. Dari hasil penelitian Sukarya (1997) dalam Iskandar dkk (2008) mengemukakan bahwa tanaman sengon yang ditanam pada zona agroklimat sangat sesuai (elevasi: 0-800 m dpl, curah hujan 2.500-400 mm/tahun, bulan kering < 5 bulan, penyinaran 1.000-2.000 jam/tahun dan kelembaban relatif, RH 70-85%), memiliki panjang serabut kayu rata-rata 24,2µm, diameter pori 144µm, berat jenis kayu 0,29, kadar ekstraktif 2,73% serta memiliki nilai penyusutan kayu yang lebih kecil.

Dari hasil penelitian Syahri (1991) dalam Ismail dkk (2008) menyatakan, tanaman sengon mulai banyak dikembangkan sebagai tanaman hutan rakyat karena dapat tumbuh pada sebaran kondisi iklim yangluas, tidak menuntut persyaratan tempat tumbuh yang tinggi dan mempunyai banyak manfaat seperti bahanbangunan ringan di bawah atap, bahan baku pulp dan kertas, peti kemas, papan partikel dan daunnya sebagai pakan ternak.

Bahan Bacaan

Ahmad. S.N.,2008. Mengenal Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria).http://Sanoesi.Wordpress.com/2008/12/18/mengenal-kayu-sengon-Paraserianthes-falcataria/.Di akses tanggal 10 Oktober 2012.

Alrasyid. 1973. Kayu Sengon. Penebar Swadaya. Jakarta.

Burhan Ismail dan Yayan Hadiyan, 2008. Evaluasi Awal Uji Keturunan Sengon (Falcataria moluccana)Umur 8 Bulan Di Kabupaten Kediri Jawa Timur. Jurnal PemuliaanTanaman Hutan Vol. 2 No. 3, November 2008 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Jabon

1. Pohon Jabon

Dari berbagai penelitian dan penemuan yang di lakukan oleh para ahli tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan terhadap pohon jabon . Salah satunya adalah bahwa jenis tanaman ini, memiliki daya tahan yang kuat dalam pertumbuhannya. Selain itu, pohon Jabon mampu tumbuh di segala kondisi yang memiliki aneka ragam karakter, sehingga tidak memerlukan banyak adaptasi dalam pengembangannya. Dalam proses pembibitannya pun, bisa dilakukan dengan mudah sebab pohon Jabon tergolong sebagai tanaman yang mudah menyebar secara alami. Sehingga, selain bisa dikembangkan dengan cara buatan tanaman ini sangat mungkin secara alami di lahan pertanian. Pohon Jabon pun bisa dikembangkan pada jenis lahan yang dimiliki tingkat kekritisan tingg karena berbagai faktor alami maupun kerusakan yang disebabkan oleh manusia. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh (Chong 1965).

2.Teknik budi daya Tanaman Jabon yang mudah

Meskipun di Indonesia termasuk baru, jabon telah diketahui sejak lama karena di luar Indonesia Jabon merupakan jenis pohon budi daya dan komersial, khususnya di India. Dalam hal budidaya, tanaman ini dikenal cukup mudah karena tidak menuntut banyak perlakuan khusus. Jabon dapat diperbanyak dengan berbagai cara, baik melalui benih, setek, maupun kultur jaringan. Kelebihan lain dari tanaman jabon adalah tergolong tanaman yang cepat tumbuh dengan riap (pertumbuhan) diameter 7-10 cm per tahun clan riap tinggi 3-6 m per tahun. Perawatannya pun cukup umum, yakni hanya perlu dilakukan di awal penanaman hingg4 tahun kedua. Ketika memasuki tahun ketiga, kanopi atau tajuk tanaman Jabon sudah lebar sehingga gulma tidak tumbuh karena ternaungi oleh tanaman Jabon. Oleh karena itu, tanaman ini cenderung tahan terhadap serangan penyakit. Keunggulan lain dari budi daya Jabon adalah secara alami jenis ini memiliki batang yang lurus clan silindris dengan cabang-cabang kecii mendatar dan memiliki kemampuan pemangkasan alami yang tinggi sehingga batangnya bisa tumbuh dengan bebas dan tinggi.

3.Penyebaran Tanaman Jabon

Jabon memiliki sebaran alami yang luas, mulai dari India sampai Papua New Guinea, yaitu Nepal, Bengal, Assam, Ceylon, Vietnam, Burma, Semenanjung Malaya, Serawak, Sabah, Indonesia, Filipina, Papua New Guinea, Cina, dan Australia. Walaupun Cina bukan termasuk negara habitat asli dari Jabon, tetapi Jabon masih bisa tumbuh di sana. Di luar habitat alaminya, Jabon juga telah ditanam di Costa Rica, Puerto Rica, Afrika Selatan, Suriname, Taiwan, clan Venezuela. Di Indonesia sendiri, Jabon ternyata memiiiki daerah penyebaran alami hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Pohon jabon terbukti adaptif terhadap kondisi alam Indonesia. Oleh karena itu, dibandingkan dengan jenis-jenis pohon sekelasnya, seperti sengon (Falcataria moluccana) sinonim dari Paraserianthes falcataria, Jati Putih (Gmelina arborea), kayu Afrika (Maesopsis eminii), mindi (Melia azedarach), suren (Toona sureni), dan Kentang (Azadirachta excelsa), Jabon memiliki kelebihan lebih banyak. Hal ini karena jabon barang kali menjadi satu-satunya tanaman komersial yang pertumbuhannya cepat, penyebarannya merata secara alami Ii,impir di seluruh Indonesia, dan juga dikenal secara internasional.

4.Nilai Ekonomi Tanaman Jabon

Berdasarkan nilai ekonomisnya, Jabon merupakan jenis tanaman kayu yang berprospek baik karena pangsa pasarnya cukup baik, untuk dikembangkan sebagai hutan tanaman industri, hutan tanaman rakyat (di kawasan hutan pemerintah), maupun hutan rakyat (di lahan milik pribadi) karena bernilai ekonomis tinggi, memiliki pangsa pasar yang baik, daur relatif singkat dengan pertambahan riap rata-rata per tahun relatif tinggi, dan kualitas kayunya baik. Selain itu, permintaan pasar cukup tinggi, untuk keperluan domestik maupun ekspor. Untuk memenuhi kebutuhan industri kayu pertukangan, kayu jabon dapat diperoleh dari pohon jabon umur 5-10 tahun, sedangkan untuk bahan baku industri pulp, kayu Jabon dapat dipanen dari pohon jabon umur 4-5 tahun setelah tanam.

Terdapat beberapa keuntungan dari penggunaan jabon sebagai tanaman jenis lokal untuk pengembangan hutan tanaman, di antaranya sebagai berikut :

  1. Bila tumbuh di habitat alaminya, memungkinkan akan tumbuh baik di hutan tanaman.
  2. Telah beradaptasi dengan lingkungannya dan merupakan niche ecology bagi berbagai flora dan fauna. Dengan demikian, jenis ini relatif tidak peka terhadap serangan hama dan penyakit karena telah ada predatornya.
  3. Walaupun dalam monokultur untuk konservasi flora dan fauna, jenis lokal lebih bernilai ekologis daripada jenis eksotik.
  4. Kegunaan kayunya telah diketahui oleh masyarakat karena jenis ini memiliki banyak manfaat, baik secara ekonomi maupun ekologi

Saturday, May 14, 2016

Kerapatan Tegakan

Pada kesempatan ini kita akan membahas mengenai kerapatan tegakan hutan.

Umumnya hutan ada yang jarang dan ada yang rapat serta berbeda-beda dalam hal jumlah pohon per hektar, volume kayu per hektar, luas bidang dasar per hektar. Perbedaan hutan yang rapat dan jarang dapat dilihat dari (kriteria) penutupan tajuk. Sedangkan perbedaan jumlah pohon atau jumlah batang, volume kayu dan luas bidang dasar dapat diketahui melalui pengukuran.

Menurut Kadri (1992), tegakan hutan dibedakan menjadi 3 kelas penutupan tajuk:

  • Tegakan hutan rapat, penutupan tajuknya > 70%
  • Tegakan hutan cukup, penutupan tajuknya 40 – 70%
  • Tegakan hutan jarang, penutupan tajuknya < 40 %

Tegakan hutan yang terlalu rapat (terlalu lebat, terlalu padat) menyebabkan produksi kayu dalam tegakan terbagi atas begitu banyak pohon-pohon sehingga tak satupun dapat tumbuh dengan kecepatan yang optimum. Hal ini disebabkan karena pada tegakan hutan yang rapat sekali maka terjadi persaingan yang keras antar pohon terhadap faktor tempat tumbuh (misalnya sinar matahari, air dan unsur hara (zat mineral hara) menyebabkan pertumbuhan pohon menjadi lambat.

Sementara itu, tegakan hutan yang terlalu jarang sampai hutan terbuka (hutan rawang) akan menghasilkan pertumbuhan pohon dengan tajuk lebar, dan bercabang banyak, namun batang yang pendek. Jika pohon-pohon dalam tegakan yang bercabang banyak maka tidak dapat menghasilkan kayu yang berkualitas tinggi. Hutan yang tajuknya kurang rapat tentu tidak efesien dalam memanfaatkan sinar matahari, air dan unsur hara, kecuali bila celah terbuka yang ada diisi dengan pohon muda melalui permudaan hutan. Bila celah terbuka tersebut tidak ditanami maka biasanya ditumbuhi gulma yang bisa mengganggu pertumbuhan jenis pohon utama atau tanaman pokok. Celah terbuka atau ruang yang tidak ditumbuhi menjadi tidak produktif.

Stocking yang kurang sering dimulakan pada umur muda karena kurangnya syarat-syarat dalam permudaannya. Jadi, hutan-hutan yang pengelolaannya kurang baik adalah yang hutan dengan tegakan terlalu rapat maupun terlalu jarang pertumbuhan pohon-pohonnya. Kedua keadaan tersebut merugikan dan mengakibatkan kurangnya nilai kayu yang dihasilkan. Oleh karena itu, hutan yang di kelola dengan baik dengan kerapatan tegakannya selalu optimum, sehingga pohon-pohonnya dapat dengan penuh memanfaatkan sinar matahari, air dan unsur hara.

Kerapatan tegakan merupakan faktor penting dalam menentukan produktivitas tempat tumbuh pada tegakan hutan yang sudah ada. Hal ini penting karena tegakan hutan sebagai faktor utama yang dapat dimanipulasi silvikulturis atau rimbawan (forester) dalam pengembangan tegakan. Melalui manipulasi kerapatan tegakan silvikultur dapat mempengaruhi pemantapan jenis selama periode permudaan dan juga memodifikasi kualitas batang, kecepatan pertumbuhan diameter dan bahkan volume produksi selama periode perkembangan tegakan (Baker dkk., 1979).

Bertalian dengan aspek budidaya hutan, penentuan kerapatan tegakan dapat menggunakan beberapa metode. Walaupun metode pengukuran kerapatan tegakan banyak; namun belum ada penentuan tentang cara menggambarkannya yang paling dapat dipercaya.

Dalam pengembangan prinsip pengukuran kerapatan tegakan perlu dimengerti dua istilah yaitu stok (stocking) dan kerapatan tegakan. Stocking adalah sebagai petunjuk jumlah pohon yang kurang subyektif dibandingkan dengan jumlah yang diinginkan untuk mendapatkan hasil yang terbaik, sedangkan kerapatan tegakan yaitu sebagai ukuran kuantitatif stok pohon yang dinyatakan secara relatif sebagai koofisien, dengan mengambil jumlah normal, luas bidang dasar atau volume unit, atau secara mutlak dalam istilah jumlah pohon, luas bidang dasar total, atau volume setiap unit areal (Ford-Robinson, 1971).

Kerapatan yang diperlukan dinyatakan dalam istilah kuantitatif dan hendaknya menggambarkan pengukuran tegakan yang tidak tergantung pada tujuan pengelolaan dan konsisten di seluruh tingkat perkembangan tegakan. Kerapatan tajuk memberikan suatu cara yang tepat untuk penentuan toleransi. Hal ini disebabkan karena sejumlah besar daun-daun hidup bertahan di dalam tajuk akan memperbesar kerapatan tajuk.

Metoda yang paling langsung untuk menentukan kerapatan ini sangat subyektif dan tidak dapat dikatakan seksama di dalam pengertian apapun, meskipun perbedaan-perbedaan antara tajuk –tajuk ekstrim rapat dan sangat terbuka adalah jelas. Tetapi juga memungkinkan untuk mengukur cahaya yang tersaring melewati tajuk-tajuk pohon dengan alat-alat pengukur cahaya apa saja. Kerapatan tajuk merupakan salah satu kriteria yang paling baik. Kerapatan tegakan bukanlah merupakan penentuan ukuran volume langsung. Pada penentuan kerapatan tegakan menghendaki tambahan informasi tentang tegakan sebelum volume dapat ditaksir.

Ada beberapa macam cara menentukan kerapatan tegakan antara lain :

a. Metoda Okuler

Para rimbawan Eropa mempertahankan kerapatan maksimal yang selaras dengan pertumbuhan maksimal dengan estimasi okuler penutupan tajuk dan perkembangan tajuk. Rimbawan-rimbawan ini menggunakan estimasi okuler untuk menentukan stok penuh dalam plot yang dipilih untuk membuat tabel hasil normal; dan sebagai konsekwensinya telah terdapat variasi kriteria kenormalan.

Kerapatan tajuk diukur pada beberapa petak ukur dengan beberapa luas tertentu yang dibuat pada foto udara di dalam suatu kelas tegakan yang tampak mempunyai kerapatan yang seragam (Handbook of Indonesian Forestry, 2005:73).

b. Metoda Tabel Hasil Normal

Metode tabel hasil normal ini dikembangkan dari tegakan seumur yang merupakan dasar untuk mengukur kerapatan tegakan. Disini, metode tabel hasil normal memberikan nilai rata-rata banyak karakteristik tegakan untuk tegakan mempunyai stol penuh, seumur, dan murni pada umur dan kualitas tempat tumbuh sama.

Kerapatan suatu tegakan tertentu dengan metode ini dinyatakan sebagai hubungan luas bidang dasar, jumlah pohon, atau volumenya dengan nilai tabel hasil normal untuk umur dan indeks tempat tumbuh yang sama. Luas bidang dasar adalah kriteria yang paling banyak digunakan karena mudah ditentukan di lapangan dengan peralatan yang menggunakan prinsip sudut Bitterlich.

Kriteria untuk ukuran kerapatan yaitu kemudahan dalam penerapan dan kemampuan mengubahnya ke volume jika tabel hasil tersedia. Metode ini tergantung pada pengetahuan umur dan kualitas tempat tumbuh tegakan. Kesalahan dalam penentuan umur dan indeks tempat tumbuh membatasi ketelitian penguluran kerapatan.

c. Metode Indeks Kerapatan Tegakan Reineke

Metode ini digunakan untuk menjadi alat untuk pengelolaan tegakan intensif untuk mengatur kerapatan tegakan. Reineke menemukan bahwa setiap tegakan seumur pada diameter tegakan rata-rata adalah diameter setinggi dada pohon dengan luas bidang dasar rata-rata yang mempunyai lebih kurang jumlah pohon per acre yang sama dengan setiap tegakan murni, seumur dan sejenis dan mempunyai diameter rata-rata, kualitas tempat tumbuh tidak berpengaruh terhadap jumlah pohon. Indeks kerapatan tegakan selalu dinyatakan sebagai jumlah pohon.

Metode ini bebas untuk mempertimbangkan pengaruh tempat tumbuh dan umur, dan dengan mudah diperoleh dengan menggunakan sudut Bitterlich atau baji Bruce untuk pengukuran luas bidang dasar dan dengan pencatatan diameter pohon yang dihitung pada setiap titik. Metode ini memberikan ukuran kerapatan yang tidak bergantung pada jenis. Indeks kerapatan Reineke mempunyai banyak penerapan praktis delam mengevaluasi perkembangan tegakan. Sebagai contoh:

Indeks tersebut memungkinkan kerapatan tegakan dibandingkan tanpa memandang perbedaan tempat tumbuh dan umur.Dengan adanya tegakan tua tertentu yang dipandang untuk memenuhi tujuan pengelolaan, silvikulturis dengan menggunakan IKT dapat memproyeksikan ke belakang untuk menentukan jumlah pohon yang tepat yang hendaknya dijaga pada tegakan umur muda untuk berkembang pada kerapatan yang sama.

Studi penjarangan dan kontrol stok menentukan tingkat batas atas dan bawah luas bidang dasar yang diinginkan.

Tegakan yang dijaga pada luas bidang dasar konstan berakibat pengurangan kerapatan secara berangsur karena bila hal ini dikerjakan luas bidang dasar sebagai presentase luas bidang dasar normal menurun dengan berjalannya waktu.

d. Metode Tabel Hasil Bruce

Agar dapat menentukan kerapatan tegakan berdasarkan volume tegakan, volume per pohon ditemukan membutuhkan korelasi karena variasi tinggi/diameter (h/d) dalam tegakan yang berdiameter tegakan rata-rata sama.

Variabel dalam metoda ini dapat diukur dengan mudah dan teliti dalam tegakan. Kerapatan tegakan dapat dievaluasi dengan tidak bergantung pada umur dan kualitas tempat tumbuh. Kurangnya tabel hasil yang dapat dibandingkan untuk kebanyakan jenis mengurangi kegunaan metode tersebut, dan pada setiap kasus kegunaannya terbatas untuk perbandingan kerapatan tegakan dalam suatu jenis dan daerah tertentu.

e. Metode Persaingan Tajuk

Metode Bruce mempunyai keterbatasan maka muncul metode persaingan tajuk digunakan untuk pengukuran kerapatan tegakan yang didasarkan pada prinsip biologis yaitu korelasi yang tinggi antara lebar tajuk pohon yang tumbuh terbuka dan diameternya. Metode ini terbukti berguna untuk estimasi pengurangan tinggi yang disebabkan oleh berbagai derajat stagnasi pada Pinus contorta (Alexander dkk, 1967).

Metoda ini dikembangkan untuk memberikan data jumlah ruang tumbuh maksimal yang dapat digunakan oleh pohon dan data keperluan pohon minimal untuk mempertahankan tempatnya dalam tegakan (Krajicek dkk, 1961). Pohon yang tumbuh terbuka harus digunakan untuk mengumpulkan data proyeksi luas tajuk vertikal dengan diameter pohon, karena hanya pohon yang tumbuh terbuka hubungan luas tajuk dengan setiap diameter setinggi dada tidak dipengaruhi oleh persaingan.

Sumber : Handbook of Indonesian Forestry, 2005. Departemen Kehutanan, Jakarta. 185 h.

5 Parameter Kesuburan Tanah

Asgar Taiyeb Laboratorium Ilmu-Ilmu Kehutanan Fahutan Untad

Untuk memanfaatkan potensi wilayah bagi pengembangan pertanian, perlu adanya penilaian yang menyangkut kesuburan tanah di samping penilaian-penilaian lain yang menunjang usaha tersebut. Untuk itu pemahaman kita mengenai tanah hutan mutlak dibutuhkan.

Di dalam penilaian ini, berbagai cara dapat dilakukan. Di antaranya melalui analisis tanaman-tanaman dan hara tanah yang juga dilengkapi dengan penilaian-penilaian lapangan mengenai gejala-gejala pertumbuhan tanaman, terutama tanaman budidaya. Penilaian kesuburan tanah merupakan proses yang mendiagnosis permasalahan unsur hara dan menerapkan anjuran dalam hal pemupukan.

Proses mendiagnosis masalah unsur hara tanaman dan menetapkan anjuran pupuk di wilayah tropis didasarkan pada pendekatan yang berbeda pada tahap kecanggihan yang berlainan.

Program penilaian kesuburan tanah dapat dipilahkan menjadi: analisis tanah, analisis tanaman, omission element di rumah kaca, uji coba pupuk sederhana.

Penilaian kesuburan tanah berdasarkan analisis tanah merupakan salah salah satu pendekatan yang terpopuler. Program ini dikembangkan oleh International Soil Fertility Evaluation and Improvement Program, ISFEIP. Penilaian ini terutama bertalian dengan unsur hara tanaman dan keadaan tanah. Penilaian menyangkut tingkat ketersediaan dan kesetimbangan hara di dalam tanah, termasuk cara yang tepat untuk menaksir seluruh faktor tersebut (analisis tanah, analisis tanaman, klasifikasi tanah, keadaan iklim).

Perbaikan meliputi penambahan pupuk buatan, gamping, pupuk alam, dan tambahan lain pada tanah dalam jumlah, waktu dan cara tertentu, sehingga dapat memberi lingkungan hara yang optimum untuk memperoleh hasil panen.

Program penilaian dan perbaikan tanah adalah khas tempat dan khas keadaan. Penggunaan informasi yang bijaksana mencakup pertimbangan terhadap beberapa faktor yang pengaruhi produksi, tenaga kerja, ekonomi dan ekologi. Hanya analisis tanah saja tidak dianggap sebagai cara pendekatan yang memuaskan. Nilai yang diperoleh dalam analisis tanah adalah angka empiris yang hanya berarti bila dikorelasikan dengan tanggapan hasil.

. Unsur Hara

Berdasarkan unsur hara yang diperlukan tanaman dan fungsinya, unsur hara tersebut digolongkan ke dalam unsur hara makro (C,H,O,N,P,K,Ca,Mg, dan S) dan mikro (Fe, Mn, Zn, Cu Bo,Co, Mo,Na,Cl,dan Si).


Syarat unsur hara makro:

  • Diperlukan dalam jumlah cukup banyak
  • Kekurangan salah satu unsur hara makro akan menimbulkan gejala defisiensi yang sulit disembuhkan dengan pemberian unsur makro yang lain.
  • Kelebihan unsur hara makro tidak menimbulkan keracunan pada tanaman.
  • Syarat unsur hara mikro:

  • Diperlukan dalam jumlah sedikit
  • Kekurangan salah satu unsur hara makro akan menimbulkan gejala defisiensi namun bisa disembuhkan dengan pemberian unsur mikro yang lain
  • Kelebihan unsur hara mikro dapat menimbulkan keracunan bagi tanaman.
  • Peranan unsur hara utama dan sumbernya sebagai berikut:

    Nitrogen (N)

    Karena N dari atmosfer tidak dapat segera dimanfaatkan langsung oleh tanaman, N yang tersedia terutama dari mineralisasi, humus, air hujan, bakteri pengikat Nitrogen yang hidup pada nodul akar pohon-pohon tertentu. Nitrogen merupakan unsur penting dalam asam nukleat, klorofil dan protein, serta menentukan dalam produksi bahan vegetatif, termasuk daun dan kayu.

    Fosfor (P

    Walaupun total Fosfor dari senyawa organik dan anorganik di dalam tanah biasanya relatif tinggi, jumlah ion fosfat yang tersedia yang dapat diserap tanaman umumnya sedikit. Khususnya pada tanah-tanah asam, fosfor banyak terikat pada senyawa metal dan tidak tersedia bagi tanaman.

    Fosfor merupakan untuk penting dalam nukleoprotein dan dalam bentuk asam Fosfat mengendalikan metabolisme energi dari tanaman. Proses biokimia fotosistesis tidak mungkin terjadi tanpa kehadiran fosfat. Pemupukan asam fosfat banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan diameter dan lignifikasi jaringan.

    Kalium (K)

    Kalium merupakan bagian dari mineral tanah yang disebut feldspat dan mika, tetapi tidak menjadi bagian dari senyawa-senyawa organik. Kalium berfungsi antara lain: menambah tekanan osmotik dalam sel dan menambah ketahanan terhadap kekeringan pada tanaman.

    Kalsium (Ca)

    Kalsium banyak ditemukan dalam berbagai kombinasi dalam batuan (gunung kapur) dan mineral tanah. Pengapuran dapat meningkatkan pH tanah. Jika pH terlalu rendah ketersediaan fosfor akan berpengaruh. Jika nilai pH terlalu tinggi, juga akan berpengaruh terhadap pengambilan Fe dan Mg.

    Mangesium dan Besi (Mg dan Fe)

    Mg dan Fe merupakan komponen utama klorofil dan dibutuhkan dalam jumlah yang cukup oleh tumbuh-tumbuhan hijau. Mg juga berfungsi sebagai regulator sejumlah proses biokimia dalam tumbuh-tumbuhan.

    B. DEFISIENSI UNSUR HARA

    Beberapa penyebab defisiensi unsur hara, antara lain :

  • Ketidak suburan pada jenis-jenis tanah tertentu.
  • Laju siklus hara yang tidak lengkap pada lahan yang tidak subur. Akumulasi seresah berlebihan, kadang-kadang dapat menimbulkan ketidakseimbangan proporsi unsur hara.
  • Faktor iklim, misalnya curah hujan yang terlampau rendah atau terlalu tinggi.
  • Interaksi beberapa unsur hara. Tingkat ketersediaan satu unsur hara dapat mempengaruhi kebutuhan unsur hara lain, misalnya pemupukan P dapat menyebabkan defisiensi K.
  • Ketidak cukupan asosiasi mikoriza dan kompetisi gulma yang berlebihan.
  • Secara umum, ada 7 metode diagnosis unsur hara, yaitu :

    1. Gejala Visual

    Gejala defisiensi unsur hara biasanya dapat dilihat dari perubahan tumbuhan, warna daun atau perubahan anatomi tanaman. Namun demikian, pemanfaatan gejala visual tidak selalu akurat untuk mendeteksi defisiensi unsur hara karena kemungkinan unsur hara menyatu dalam memperlihatkan gejala kekurangan unsur hara. Oleh karena itu, perlu berhati-hati melakukan interpretasi dalam pengamatan gejala visual. Bisa jadi karena musim tumbuh misalnya, warna-warna daun menjadi sangat pucat atau agak pucat. Pengamatan terhadap daun-daun sangat mudah dalam visualisasi dan juga bisa memberikan manfaat secara makro dalam rangka menyusun perencanaan daerah-daerah kritis yang mengalami defisinesi unsur hara.

    2. Analisis jaringan tumbuhan

    Konsep analisis jaringan tumbuhan didasarkan atas hubungan antara konsentrasi unsur hara pada jaringan tertentu suatu pohon dengan pertumbuhan. Dalam analisis jaringan tumbuhan, dilakukan dengan pengambilan contoh jaringan dan konsentrasi kritis. Pengambilan contoh jaringan penting karena berbagai jaringan dapat digunakan untuk menetapkan unsur hara aktif, penyerapan unsur hara. Bagian-bagian yang dianalisis adalah floem, korteks tetapi yang umum adalah analisis daun.

    3. Analisis tanah

    Kegiatan uji tanah meliputi pengambilan contoh tanah dan prosedur-prosedur analisis. Analisis tanah dilakukan untuk areal yang ditumbuhi tanaman. Namun, ada beberapa kesulitan-kesulitan dengan analisis tanah, yaitu: (a) masih kurangnya informasi atau tidak cukup data tentang kebutuhan unsur hara pada kebanyakan tanaman, (b) kurangnya korelasi data yang bermanfaat untuk interpretasi hasil terhadap respon pemupukan sebagai data pembanding. (c) contoh-contoh yang representatif yang tidak mudah ditetapkan. (d) Kurang informasi pada lapisan tanah bagian mana yang paling tepat untuk disampling, (e) adanya ketidakpastian bentuk nutrisi untuk diekstrak dalam analisis, (f) kemungkinan campuran antara hara tanah dengan mikroba yang bisa terjadi dalam mengambil contoh tanah.

    4. Kultur Pot

    Kultur pot merupakan salah satu cara untuk mendiagnosis unsur hara untuk mengetahui interaksi antar unsur. Kultur pot sering dilakukan dalam rumah kaca (green hause) agar memudahkan dalam memonitor. Kelemahan kultur pot adalah kesulitan untuk mengekstrapolasi hasil ke kondisi lapangan. Kultur pot hanya di dalam ukuran semai atau bahan tanam.

    Pot kultur tidak sesuai dengan kondisi-kondisi di lapangan yang kecenderungan akan keragaman banyak, karena bisa jadi adanya hama penyakit misalnya, proses sinergisme maupun antagonisme. Pot kultur hanya digunakan untuk membangun basis penelitian jangka pendek.

    5. Penghancuran

    Diagnosis ini membandingkan antara analisis dengan uji pot. Melalui penghancuran contoh untuk analisis misalnya : ekstraksi tumbuhan, dimana bagian akar dicuci, kemudian dihancurkan.

    6. Percobaan pot di lapangan

    Dalam percobaan lapangan dalam pot dimungkinkan untuk membuat perlakuan-perlakuan sesuai dengan kebutuhan, di samping unsur hara juga terdapat perlakuan yang berkaitan dengan kebutuhan terhadap air. Misalnya pengaruh penyiraman dan penggenangan. Perlakuan penggenangan yang kekurangan air menyebabkan pertumbuhan tanaman akan merana. Sedangkan perlakuan yang cukup air, maka akar tanaman mengelompok dan bahkan ditemukan adanya mikoriza. Pemupukan harus juga cukup air, persoalannya pada titik mana optimum. Pada saat sore, pagi, kebutuhan air seperti apa, suatu titik keseimbangan kebutuhan air, macam pupuk dosis pupuk.

    Uji di lapangan dapat dijadikan petunjuk. Sebagai metode tertua untuk mendiagnosis unsur hara. Tetapi menyita waktu dan hasil tidak selalu dapat diterapkan pada lingkungan yang luas. Dilakukan bisa dekat tempat pertanaman. Ada dua kategori (a) uji pada tegakan- tegakan muda dan (b) uji pada tegakan yang sudah tua.

    7. Tanaman Indikator

    Ada beberapa jenis pohon yang kekurangan unsur hara, ada beberapa indikator, ada tumbuhan yang unsur haranya tidak subur maka mengindikasikan informasi jenis tertentu yang tumbuh.

    5 Parameter Kesuburan Tanah

    Menurut Anonim (1983), sifat-sifat kimia yang dipakai dalam evaluasi status kesuburan tanah adalah: KTK, KB, P Total (P2O5), K Total (K2O) , dan C-Organik.

    Demikianlah, konsep penilaian kesuburan tanah, dan kali ini diuraikan 5 parameter penilaian kesuburan tanah

    a. Kapasitas Tukar Kation (KTK)

    Pertukaran kation merupakan kejadian di alam yang penting setelah fotosintesis karena berpengaruh terhadap penyediaan unsur hara bagi tanaman.

    Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kapasitas lempung untuk menjerap dan menukar kation. KTK dipengaruhi oleh: (1) kandungan liat, (2) tipe liat, (3) kandungan bahan organik. Dengan kata lain, KTK bervariasi tergantung pada jumlah humus, liat dan macam liat yang dijumpai dalam tanah. KTK sangat penting untuk mengetahui, karena bertalian dengan kesuburan tanah dan aplikasi pupuk.

    Semakin tinggi KTK, maka dapat meningkatkan status kesuburan tanah dan sebaliknya semakin rendah KTK, maka status kesuburan tanah juga makin rendah. Dengan kata lain, KTK yang tinggi mencerminkan tanah subur, sebaliknya KTK yang rendah mencerminkan tanah tidak subur.

    Ukuran diameter fraksi liat adalah 2 mikron (µm) atau 0,002 mm, sedangkan koloid berukuran terbesar tidak lebih dari 1 mikron. Berarti tidak semua fraksi liat dikatakan koloid. Sebagian fraksi liat mengalami pelapukan melalui aktivitasnya menjerap dan mempertukarkan kation hingga menghasilkan koloid.

    Koloid terdiri dari koloid humus (organik) dan koloid liat (mineral, anorganik). Kedua koloid ini mempunyai sifat dan ciri yang berbeda. Perbedaan utamanya adalah unit (misel) koloid humus tersusun dari karbon, oksigen dan hidrogen, sedangkan koloid liat dari silikon (Si), aluminium (Al) dan oksigen.

    Daya jerap koloid humus jauh melebihi liat koloid. KTK koloid humus dapat mencapai 200 – 300 me/100 gr liat. Sedangkan KTK koloid liat montmorillonit/smektit (tipe liat 2:1) sebesar 80 – 150 me/100 gr liat dan koloid liat kaolonit (tipe liat 1 : 1) sebesar 3 – 15 me/100 gr liat. Campuran koloid humus dan koloid liat dalam tanah akan saling menunjang peranannya dalam menjerap dan mempertukarkan kation

    Nilai KTK Kaolinit lebih rendah daripada montmorillonit, karena kaolinit mempunyai daya adsorbsi (jerapan) yang lebih rendah daripada montmorillonit. Maka potensi kesuburan kaolinit lebih rendah dibanding montmorillonit, sehingga respon pemupukan pada kaolinit juga lebih rendah dibanding montmorillonit.

    Pada mineral liat terdapat ion-ion yang melekat di kisi-kisi kristalnya. Apabila mineral liat tipe 1:1 (1 lembar Si : 1 lembar Al), antar lembar terikat kuat sehingga tidak bisa lagi disisipi ion. Sementara pada mineral tipe lembar 2:1, dan tipe 2:2 memiliki muatan ion yang lebih besar. Bentuk pengikat tipe-tipe mineral berbeda. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesuburan kimia tanah, maka seorang agronomis perlu merubah KTK tanah dengan fokus bagaimana merubah tipe liatnya agar jumlah lembar Si dan Al makin besar. Cara yang dikenal untuk meningkatkan KTK adalah dengan menambah bahan organik dalam tanah.

    Mineral liat terdiri dari lembaran-lembaran Al dan Si. Di daerah kompleks pertukaran tanah (permukaan koloid tanah), lembaran Al berada di bagian luar, Si di bagian dalam. Apabila KTK < 24 me/100 gr liat menunjukkan tanah tua mengandung mineral tipe kaolinit. Apabila Jumlah lembar Si dan Al makin kecil, maka KTK makin rendah, sehingga makin rendah tingkat kesuburannya. Produk akhir dari pelapukan disebut laterit. Laterit diikat oleh mineral liat tipe kaolinit. Makin tua umur tanah, seperti Oxisol, maka makin kaya laterit.

    KTK terdiri atas KTK Potensial dan KTK efektif. KTK efektif merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam mengamati data kimia tanah, karena KTK efektif mempunyai peran sentral yang berkaitan dengan tindakan silvikultur khususnya pemupukan. Apabila KTK efektif bertambah besar maka respon tanah terhadap pupuk makin tinggi, sebaliknya apabila KTK efektif kecil maka respon tanah terhadap pemupukan makin rendah.

    Untuk tujuan penentuan status kesuburan tanah, digunakan satuan KTK me/100 gram tanah. Di mana 1 me (miliekuivalen)/100 gram tanah = 1 c mol (+)/kg tanah. Sedangkan untuk tujuan klasifikasi tanah dan penentuan tipe mineral liat digunakan satuan KTK me/100 gram liat. Satuan KTK untuk tujuan klasifikasi adalah me/100 gr liat, bukan me/100 gr debu atau pasir karena reaksi fisiko-kimia hanya ada pada koloid, di mana koloid terdapat pada liat. Koloid adalah ukuran massa tanah paling kecil. Koloid merupakan produk pelapukan berupa material yang semakin kecil. Liat paling besar memiliki koloid, selalu menghasilkan material paling besar dibanding debu dan pasir.

    Contoh jika diketahui:

    KTK = 24 me/100 gram tanah
    liat = 40 %, maka:
    KTK Efektif = (24/40) x 100 = 60 me/100 gram liat.

    Satuan KTK 24 me/100 gram tanah merupakan hasil analisis laboratorium untuk mengetahui kesuburan tanah, sedangkan KTK efektif 60 me/100 gram liat digunakan oleh sivikuturis untuk mengetahui klasifikasi (jenis) tanah. KTK efektif yang semakin menurun menunjukkan sebagai tanah-tanah tua atau tanah-tanah yang mengalami pertambahan pelapukan.

    Hubungan antara kesuburan tanah dan penggolongan tanah:

    1. anjuran penggunaan pupuk adalah spesifik lokasi,
    2. perbedaan sifat tanah merupakan salah satu penyebab utama kekhasan menurut tempat
    3. program penilaian kesuburan tanah harus berhubungan erat dengan program penyigian dan penggolongan tanah

    b. Kejenuhan Basa (KB)

    Selain kapasitas tukar kation, Kejenuhan basa juga menentukan kesuburan tanah. Kejenuhan basa merupakan perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah semua kation yang terdapat pada kompeks jerapan tanah yang terdiri dari kation asam dan kation basa.

    Tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan kandungan basa/kation basa yang umumnya merupakan unsur hara tanaman yang tinggi pula dan sebagai pertanda belum banyak mengalami pencucian. Tanah demikian dinilai termasuk yang subur bagi pertanian.

    Dengan perkataan lain, semakin tinggi KB, maka status kesuburan tanah semakin tinggi dan sebaliknya semakin rendah KB, maka status kesuburan tanah juga makin rendah.

    Upaya forester tidak hanya memperhatikan KTK tanah, melainkan perlu memperhatikan pula persentase kejenuhan basa. KTK Efektif dan KB bagaikan mata uang logam yang kedua sisinya tidak bisa dipisahkan. Makin tinggi KTK, maka makin kuat menjerap kation. Makin kuat menjerap kation, maka potensi kesuburan tanah makin tinggi, tetapi KB harus juga tinggi. Mengapa KB harus juga diperhatikan? Sebab bisa saja KTK Efektif yang tinggi mungkin kation asam saja yang tinggi, belum tentu kation basa yang tinggi sehingga kesuburan tidak tinggi. Oleh karena itu, selain ditentukan oleh KTK, kesuburan tanah juga ditentukan oleh KB (Kejenuhan Basa).

    Apabila hasil analisis tanah diperoleh KB 40 %, berarti pada koloid tanah terdapat 40 % kation basa dan sisanya 60 % kation asam.

    Makin rendah KB maka makin banyak pemberian kapur, tetapi waktu pemberiannya tergantung KTK. KTK perlu diketahui, menyangkut berapa muatan ion maksimum yang dimiliki tanah sebagai gudang hara. KTK diilustrasikan sebagai ukuran gudang hara. Tanah yang memiliki KTK lebih kecil, berarti kapasitas gudang haranya lebih kecil untuk menyimpan kation. Misalnya tanah dengan KTK 10-15 me/100 gr liat maka pemberian kapur (misalnya superdolomit yang mengandung Ca) makin sedikit karena daya tampungnya lebih kecil dibandingkan tanah dengan KTK 30 me/100 gr liat.

    Nilai kejenuhan basa suatu tanah dipengaruhi oleh pH. Makin rendah pH tanah maka makin masam, akibatnya KB makin rendah. Begitu sebaliknya, kalau pH tanah tinggi maka KB-nya akan tinggi.

    c. P Total (P2O5)

    Semakin tinggi kandungan P total, maka status kesuburan tanah semakin tinggi dan sebaliknya semakin rendah, maka status kesuburan tanah juga makin rendah.

    P terdapat dalam 2 status, yaitu P total dan P tersedia. Beberapa peneliti tanah melaporkan bahwa nilai P tersedia paling tinggi 10 % dari nilai P total. Misalnya jika diketahui P total tanah = 136 ppm, maka kandungan P tersedia tidak lebih tinggi dari 13,6 ppm.

    Menurut PPT (Anonim, 1983),

    1 ppm P = 1 mg/100 gram P2O5 x 10/2,29
    1 ppm P = 1 mg/100 gram P2O5 x 4,37
    1 ppm P = 4,37 mg/100 gram P2O5
    1 ppm P ≈ 5 mg/100 gram P2O5.

    Fosfor merupakan unsur hara yang sering membatasi pertumbuhan tanaman di daerah tropis. Khusus pada tanah tropis basah, ordo Alisol, Acrisol dan Feralsol sangat sedikit mengandung P tersedia. Apabila P tersebut jumlahnya kurang di dalam tanah, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat.

    Di dalam tanah sumber utama P adalah mineral apatit dan pupuk buatan. P dari mineral apatit pada tahap awal perkembangannya terikat dalam bentuk Ca-P, sedangkan P dari bahan organik berasal dari sisa-sisa tanaman dan penghidupan hewan serta organisme dalam tanah. Dengan demikian, P dalam tanah digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu P organik dan P anorganik.

    P diserap oleh akar tanaman dalam bentuk ion H2PO4- dan H2PO42-. Ketersediaan P dalam tanah antara lain dipengaruhi oleh pH dan kandungan bahan organik.

    Pada pH 5,0 - 7,2, umumnya banyak dijumpai ion H2PO4- dan di atas pH tersebut dominan HPO42. Saat kation basa (K+, Mg2+, Ca2+, Na+) tercuci, kation-kation asam (Al3+) mendominasi kompleks koloid sehingga pada suasana Al3+ dominan bersenyawa dengan PO42- yang bereaksi menjadi senyawa yang relatif stabil sehingga P tidak bisa digunakan oleh tanaman. Pada pH ≥6,5 P mengalami pengikatan dengan Ca membentuk Ca-Posfat dapat menurunkan P tersedia.

    d. K Total (K2O)

    Semakin tinggi K total, maka status kesuburan tanah semakin tinggi dan sebaliknya semakin rendah K total, maka status kesuburan tanah juga makin rendah. Berdasarkan ketersediaannya bagi tanaman, Kalium total dalam tanah digolongkan kedalam 3 bentuk :

    1. K relatif tidak tersedia.

    Umumnya bentuk yang demikian ini masih berada dalam mineral tanah seperti felsfat dan mika, mencakup 80-90 % dari K total.

    2. K lambat tersedia.

    Bentuk ini tidak dapat dipertukarkan namun merupakan cadangan ketersediaan K yang lambat tersedia. Bentuk ini mencapai 1 – 10 % dari K total.

    3. K segera tersedia.

    Bentuk ini dapat dipertukarkan, dan dapat diserap tanaman, mencakup 1–2 % saja dari K total.

    Sumber Kalium adalah mineral-mineral silikat seperti ortoklas, muskovit, biotit, felsfat, mika dan leusit. Kalium tidak memiliki ikatan kovalen dengan persenyawaan organik, tetapi tanaman menyerap unsur ini dalam bentuk K+.

    Penambahan K dalam tanah sebagian besar dari pemberian pupuk buatan, sisa tanaman dan pupuk alam serta mineral. Kalium dari tanah yang lambat tersedia, sedangkan kehilangan K sebagian besar karena diangkut oleh tanaman yang dipanen, berikutnya hilang karena erosi, pelindian (pencucian) dan terfiksasi (tertambat) menjadi mineral yang lambat tersedia. K+ mudah tercuci karena K+ bukan lagi dalam bentuk senyawa (yang terikat) melainkan sudah dalam bentuk unsur (yang bebas). K+ dengan adanya air hujan sudah dapat melarut, berbeda dengan Al3+ yang hanya dapat larut pada kondisi pH rendah.

    K tersedia bagi tanaman dalam bentuk ion yang dapat dipertukarkan pada koloid tanah. Walaupun K sangat banyak dalam tanah-tanah mineral, kelarutan yang rendah dari mineral primer mengakibatkan rendahnya ketersediaan unsur K. Namun demikian, selalu terdapat pembaharuan yang terus-menerus dari mineral primer ke dalam bentuk yang dapat dipertukarkan. Laju pencucian K bervariasi tergantung pada tipe liat dan jumlah bahan organik dalam tanah.

    e. C - Organik

    Karbon berkaitan dengan kandungan bahan organik. Kandungan bahan organik = 1,724 x C Organik. Dilihat dari distribusi vertikal dalam tanah, unsur C dan N umumnya mempunyai pola yang sama. Konsentrasi tertinggi ada di lapisan atas dan kemudian menurun secara berangsur di lapisan yang lebih dalam.

    Proses perombakan bahan organik menjadi bahan anorganik terjadi melalui dua proses yaitu humifikasi dan mineralisasi.

    Proses humifikasi adalah proses perubahan bahan organik menjadi humus. Humus sebagai produk humifikasi merupakan bahan organik yang bersifat seperti koloid atau bersifat koloidal. Humus tidak pernah tebal karena selalu diurai oleh mikroorganisme. Di hutan dataran rendah misalnya, humus tidak setebal daripada di hutan pegunungan, karena setelah humus terbentuk maka mineralisasi terkendala.

    Karena humus bersifat koloidal, maka belum tergolong dalam bentuk unsur hara. Kalau humus sudah termineralisasi, barulah kemudian berbentuk unsur hara. Koloid (misel) adalah massa tanah yang terlibat aktif dari reaksi fisiko-kimia. Permukaan koloid bermuatan listrik negatif (anion) dan positif (kation). Permukaan koloid yang bermuatan negatif inilah yang mempunyai daya menarik kation- kation tanah.

    Fungsi humus:

    • Berfungsi sebagai granulator, yaitu pengelompokan butiran-butiran tanah yang bercerai-berai atau terlepas-lepas, kemudian direkatkan oleh bahan organik dan selanjutnya tergabung menjadi granular. Tanah yang berstruktur granular menjadi resisten terhadap gaya-gaya erosi agar dapat meningkatkan ketahanannya terhadap tumbukan air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan meningkatkan porositas tanah.
    • Akibat makin kecilnya butiran atau luas permukaan humus yang makin besar dalam satuan volume tertentu, maka kemampuan menyimpan air makin besar, sehingga makin dipertahankan kelembapan tanah.
    • Meningkatkan kapasitas tukar kation. Tidak ada bahan lain yang dapat meningkatkan kapasitas tukar kation selain bahan organik. Apakah memang KTK perlu ditingkatkan? Justru persoalan tanah di daerah tropika,umumnya KTK sangat kecil, dan KTK menjadi lebih kecil lagi apabila tidak memiliki bahan organik seperti humus.

    Di samping humus, maka terbentuk produk samping dari pelapukan bahan organik adalah asam humin. Asam humin adalah suatu cairan yang terkandung dalam bahan organik tanah.

    Kualitas bahan organik diukur dengan C/N. Data C/N Berkaitan dengan laju humifikasi dan mineralisasi yang dilakukan oleh mikroorganisme tanah. C/N menunjukkan baik atau tidaknya penguraian bahan organik.

    Jika C/N < 25 maka kondisi lingkungan yang sesuai, baik untuk perkembangan populasi mikroorganisme maupun untuk humifikasi dan mineralisasi bahan organik. Bila nitrifikasi baik, maka C/N akan rendah, dengan demikian bahan organik cepat habis. Untuk mempertahankan bahan organik dalam tanah, harus disediakan N yang cukup. C/N yang rendah menunjukkan dekomposisi bahan organik yang lanjut.

    Jika C/N = 25, merupakan pelapukan bahan organik yang ideal. Ideal dalamarti berkaitan dengan adanya perkembangan populasi mikroorganisme disatu sisi dan disisi lain menunjukkan bahwa kegiatan mikroorganisme melapukkan bahan organik masih berlangsung secara optimal.

    Jika C/N > 25, maka humifikasi dan mineralisasi terhambat. C/N > 25 artinya komponen kaya akan bahan organik. Karbon berkaitan dengan air dan udara, yang bertalian dengan struktur tanah dan porositas. Jika C/N >25 maka pasti ada kendala, dimana populasi mikroorganisme tidak memiliki lingkungan yang baik untuk berkembang dan pengurai bahan organik terhambat. Hal ini berkaitan dengan pH, drainase buruk. Misalnya pada tanah gambut (histosol/organosol) sering terendam air sehingga mempunyai drainase yang buruk, maka organisme akan kesulitan menggunakan oksigen untuk berespirasi, akibatnya bahan organik tidak bisa melapuk.

    Dengan kata lain, bila C/N > 25 memberi indikasi terdapatnya kondisi yang menghalangi kerja mikroorganisme, mungkin karena drainase tanah yang buruk, atau penyebab lain seperti elevasi tanah terlalu rendah sehingga sering terjadi banjir kiriman. C/N > 25 - 50 dikatakan buruk, artinya C dominan, sebaliknya N sedikit. Bila C/N bahan organik tinggi maka akan terjadi persaingan N antara tanaman dan mikroorganisme, dalam hal ini N diinmobilisasi. C/N yang tinggi menunjukkan dekomposisi belum lanjut atau baru mulai.

    Cara untuk mengatasi masalah rendahnya C organik lazimnya dilakukan melalui penambahan bahan organik.

    Pengaruh secara fisik: Penambahan bahan organik juga akan memperbaiki struktur tanah melalui pengelompokan butiran-butiran tanah yang bercerai-berai atau terlepas-lepas, kemudian direkatkan oleh bahan organik dan selanjutnya tergabung menjadi granular. Tanah yang berstruktur granular menjadi resisten terhadap gaya-gaya erosi agar dapat meningkatkan ketahanannya terhadap tumbukan air hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Granulasi dapat meningkatkan porositas tanah, meningkatkan daya simpan air serta memperbaiki drainase dan aerase.

    Pengaruh humus (bahan organik) terhadap sifat-sifat tanah:

    1. Pengaruh secara fisik:
      1. warna tanah menjadi lebih kelam. Coklat-hitam: menaikkan suhu.
      2. meningkatkan agregasi (granulasi tanah) dan stabilitas agregat, aerasi (penghawaan) lebih baik, drainase perembihan, pelulusan) lebih baik, lebih tahan terhadap erosi.
      3. mengurangi plastisitas pada tanah lempung (liat-clay), tanah lebih mudah diolah (lebih gembur
      4. menaikkan kemampuan mengikat/menyimpan air
    2. Pengaruh secara kimia:
      1. menaikkan KTK (humus mempunyai KTK>200 me/100 gr).
      2. merupakan salah satu sumber unsur hara (penting dalam daur/siklus unsur hara)
      3. merupakan cadangan unsur hara utama N,P, S dalam bentuk organik dan unsur hara mikro (Fe, Cu, Mn, Zn, B, Mo, Ca) dalam bentuk khelat (chelate) dan akan dilepaskan secara perlahan-lahan.
      4. meningkatkan aktivitas, jumlah dan populasi mikro dan makro organisme tanah (bakteri, fungi, actinomycetes, cacing, serangga dan lain-lain).

    B Bahan organik dapat di amati pada profil tanah lapisan teratas yang berwarna coklat tua atau kehitaman. Kandungan bahan organik tergantung dari jumlah bahan organik yang dikembalikan ke tanah, laju dekomposisi yang terjadi sepanjang tahun dan kedalaman tanah.

    Proses perombakan bahan organik menjadi bahan anorganik terjadi melalui dua proses yaitu humifikasi dan mineralisasi. Proses humifikasi adalah proses perubahan bahan organik menjadi humus. Humus yang merupakan produk humifikasi merupakan bahan organik yang bersifat seperti koloid atau bersifat koloidal. Humus tidak pernah tebal karena selalu diurai oleh mikroorganisme. Di hutan dataran rendah misalnya, humus tidak setebal daripada di hutan pegunungan, karena setelah humus terbentuk maka mineralisasi terkendala.

    Karena humus bersifat koloidal, maka belum tergolong dalam bentuk unsur hara. Kalau humus sudah termineralisasi, barulah kemudian berbentuk unsur hara. Koloid (misel) adalah massa tanah yang terlibat aktif dari reaksi fisiko-kimia. Permukaan koloid bermuatan listrik negatif (anion) dan positif (kation). Permukaan koloid yang bermuatan negatif inilah yang mempunyai daya menarik kation- kation tanah.

    Di samping terbentuk humus, maka terbentuk produk samping dari pelapukan bahan organik adalah asam humin. Asam humin adalah suatu cairan yang terkandung dalam bahan organik tanah.

    Tapak Hutan

    Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman yang mengalami kemunduran tapak hutan yang ditandai dengan penurunan produktivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus diganti dengan jenis tanaman lain (www.silvikultur.com)

    Tanah hutan dan Indeks Tapak

    Kualitas tanah adalah faktor yang paling penting dalam keputusan pengelolaan hutan. Tanah akan menentukan jenis pohon menghasilkan volume kayu terbesar, waktu panen, dan pada akhirnya, investasi pemilik tanah harus membuat untuk menghasilkan pengembalian ekonomi diterima dari pengelolaan hutan.

    Tanah sangat bervariasi dalam kemampuan mereka untuk menghasilkan volume diperdagangkan dari kayu pulp, kayu gergajian, veneer, tiang, menumpuk atau produk kayu lainnya dalam jangka waktu yang wajar.

    Pemilik lahan harus menyadari faktor tanah yang mempengaruhi produksi hutan sebelum berinvestasi dalam regenerasi atau pengelolaan hutan.

    Produktivitas tapak untuk pertumbuhan pohon biasanya dievaluasi pada basis tegakan. Dengan pertimbangan, kualitas tapak mengungkapkan rata-rata produktivitas yang ditujukan pada bidang lahan untuk pertumbuhan pohon-pohon hutan. Sebuah cara yang umum untuk mengekspresikan kualitas tapak relatif adalah mengatur tiga sampai lima kelas, atau ranking ordinal, seperti tapak I, II dan III. Karakteristik masing-masing kelas harus didefinisikan untuk memungkinkan setiap daerah diklasifikasikan (Yadaf, 2015).

    Indeks Tapak (Site Index)

    Pengaruh kolektif faktor tanah akan menentukan indeks tapak untuk pohon tertentu species di area tanah yang diberikan. Indeks tapak adalah tinggi total yang pohon dominan dari spesies tertentu akan tumbuh pada tapak tertentu di beberapa usia indeks, biasanya 25 atau 50 tahun di Tenggara. Pohon yang dominan adalah pohon tertinggi di stand. Jika dinyatakan bahwa suatu daerah memiliki indeks tapak untuk pinus loblolly dari ketinggian 70 kaki pada 50 tahun, maka kita berharap bibit loblolly ditanam di daerah yang saat ini ketinggian 70 kaki dalam 50 tahun. Indeks usia dan jenis pohon harus dinyatakan ketika mengacu pada indeks tapak karena indeks tapak salah satu spesies akan berbeda dari indeks tapak spesies lain yang tumbuh di daerah yang sama. Ada hubungan erat antara indeks tapak dan hasil kayu. Volume kayu diperdagangkan meningkat dengan peningkatan indeks tapak (Tabel 1).

    Tabel 1. Hubungan Indeks Tapak (SI) untuk Hasil Kayu dari Berhasil Pinus Loblolly.

    Faktor tanah

    Faktor-faktor berikut memiliki dampak besar pada produktivitas tanah hutan dan indeks tapak:

    1. Kedalaman humus. Kedalaman lapisan tanah paling atas adalah pohon faktor yang mempengaruhi kritis pertumbuhan. Humus tertinggi bahan organik dan nutrisi, biasanya baik aerasi dan dikeringkan, dan memungkinkan pertumbuhan akar maksimum dan penetrasi akar.
    2. Tekstur tanah. Proporsi pasir, lumpur, dan tanah liat di tanah lapisan atas dan lapisan tanah lapisan disebut tekstur. Tanah berpasir biasanya sangat baik dikeringkan dan sering kekurangan nutrisi karena kehilangan pencucian konstan. Di ujung lain dari spektrum adalah tanah liat murni terdiri dari sangat kecil, partikel tanah halus.
    3. Kelas Konsistensi Subsoil. Kelas konsistensi lapisan subsoil merupakan faktor penting dalam produktivitas tanah hutan. Kombinasi ukuran partikel-tanah dan sifat fisik dan kimia dari masing-masing jenis partikel individu dalam tanah yang diberikan menentukan kelas konsistensi tanah itu. Membatasi Layers. Lapisan yang membatasi penetrasi ke bawah sistem akar pohon akan mengurangi pertumbuhan pohon dalam hubungan langsung dengan kedalaman lapisan. Pada kasus yang jarang, lapisan pembatas dapat meningkatkan produktivitas tapak, seperti pada kelembaban tersedia.
    4. Kesuburan. Pinus selatan tumbuh melalui berbagai tingkat kesuburan tanah. Pemupukan biasanya tidak dianjurkan di awal rotasi kecuali dalam kasus kekurangan kritis dari nutrisi utama seperti fosfor. Sebuah uji tanah sebelum persiapan lokasi akan mengingatkan pemilik tanah untuk kekurangan kritis. Penelitian telah menunjukkan hasil yang bertentangan dalam menanggapi pohon hutan pemupukan nitrogen, terutama di awal rotasi. Pertumbuhan dapat ditekan jika pupuk meningkatkan persaingan dengan pertumbuhan gulma. Hasil terbaik dari penggunaan pupuk awal muncul dalam kombinasi persaingan dengan herbisida atau kontrol mekanis vegetasi. Akhir rotasi pemupukan dilakukan 5-8 tahun sebelum kenaikan panen akhir hasil kayu dalam banyak situasi, tetapi mungkin tidak praktis ekonomis.
    5. Drainase internal. Jenis pohon beberapa dapat tumbuh di tanah yang selalu basah. Drainase dapat ditingkatkan dalam beberapa kasus oleh mengolah, membolos atau menambahkan tempat tidur sebagai metode persiapan lokasi.
    6. Mengukur Indeks Tapak Indeks tapak dapat ditentukan dengan dua metode. Salah satu metode adalah untuk menemukan di daerah yang bersangkutan beberapa pohon yang dominan dari spesies bernilai atau spesies dengan faktor konversi diketahui spesies bernilai. Menggunakan pengukuran umur dan tinggi yang akurat, membaca indeks tapak dari grafik yang menunjukkan kurva tinggi umur untuk itu spesies (Gambar 1).

    Gambar 1. Kurva Indeks tapak untuk pinus loblolly pada usia indeks 50 tahun di Pesisir Plain of Virginia, North Carolina, dan South Carolina. (Kurva ini didasarkan pada analisis dari 40 batang pohon yang dominan di tengah-tengah dan bawah Coastal Plain.)

    Metode kedua untuk menentukan indeks tapak didasarkan pada karakteristik fisik tanah. Tabel memberikan indeks tapak oleh sistem ini tersedia untuk beberapa spesies penting. Informasi yang diperlukan tentang tanah termasuk kedalaman tanah lapisan atas dan plastisitas lapisan tanah. Di pasir dalam, kedalaman horison dan partikel halus konten halus bertekstur dari horizon yang digunakan sebagai pengganti kedalaman tanah lapisan atas dan lapisan tanah plastisitas.

    Indeks tapak dapat dihitung dengan cukup akurat untuk hampir semua jenis pohon komersil. Sebuah pemilik tanah harus berkonsultasi dengan rimbawan profesional untuk mengevaluasi indeks tapak untuk jenis pohon pada properti tertentu. Informasi Indeks tapak termasuk dalam survei tanah yang luas diselesaikan dalam beberapa tahun terakhir atau sedang berlangsung di banyak negara County Anda Sumber Daya Alam Conservation Service dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan survei tanah.

    Memilih jenis pohon yang tepat untuk mengelola atau tanaman pada tapak tertentu melibatkan beberapa langkah.

    1. Tentukan tujuan. Jika produksi kayu adalah tujuan utama, pilih spesies yang ekonomis akan menghasilkan produk kayu. Jika satwa liar, rekreasi, estetika atau lainnya kegunaan adalah objektif, pilih jenis yang sesuai. Pada banyak saluran, beberapa kegunaan mungkin kompatibel.
    2. Pilih jenis dengan jejak rekam yang terbukti dalam hal pertumbuhan dan penerimaan di pasar lokal.
    3. Jika dua atau lebih spesies dapat dipilih dan produksi kayu adalah tujuan utama, pilih jenis yang akan menghasilkan pengembalian dolar terbesar dalam jumlah waktu terpendek. Dalam kebanyakan kasus, ini berarti memilih spesies dengan tapak indeks tertinggi.

    Pemilik tanah harus berinvestasi hanya dalam spesies pada orang-acre mampu menghasilkan kembali ekonomi dapat diterima. Pengembalian akan berbeda dengan investasi, spesies, dan kualitas tapak.